Buya ZAS-3: KETIKA AJAL MENJEMPUT














KETIKA AJAL MENJEMPUT 

Oleh: Efri Yoni Baikoeni


Pada tahun 1979, kondisi kesehatan ZAS mulai mengalami gangguan. ZAS mengeluhkan rasa pusing dan kepalanya terasa sakit sehingga mengurangi aktivitasnya. Pihak keluarga kemudian menyarankan ZAS untuk memeriksakan kesehatan di Jakarta. 


Anaknya Maisarah yang sedang kuliah di Fakultas Kedokteran Universitas Andalas itu juga menyarankan hal yang sama. 


“Di Jakarta perlengkapan kedokteran lebih memadai berbanding fasilitas di rumah sakit di Padang. Itu lebih baik buat Buya”, katanya.


Hal itu juga diamini oleh Nursiah Zaman, adik perempuan isterinya yang tinggal di Jakarta. Nursiah Zaman yang menikah dengan Ali Amran tersebut membuka toko buku “Bahagia” dan tinggal di Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. 

Selain di rumah Nursiah Zaman, ZAS juga disediakan tempat menginap di rumah koleganya HAMKA yang beralamat di Jalan Raden Patah III/1, Kebayoran Baru, Jakarta. 


Saat itu, anak-anak HAMKA sudah banyak yang  berumah tangga dan tidak lagi tinggal di rumah orang tua mereka. Rumah keluarga HAMKA yang cukup luas itu, hanya ditempati dua orang dari sepuluh orang anaknya. Kondisi tersebut membuat HAMKA merasa kesepian.


“Adinda bayangkan sendirilah rumah sebesar ini sudah terasa kami kesepian atau lingau kata urang awak”, ujar HAMKA membujuk ZAS. 


Karena itu, setiap ke Jakarta, HAMKA selalu menahan sahabat karibnya itu agar menginap saja di rumahnya. HAMKA juga dapat mengetahui penyakit yang diderita dan memberi bantuan yang perlu, termasuk mengomunikasinya dengan pihak keluarga di Batuhampar, Payakumbuh.


Pada bulan Mei 1980, pemeriksaan kesehatan kembali dilakukan di RS Cipto Mangunkusumo. Dari hasil pemeriksaan dokter di rumah sakit tersebut, dinyatakan mengidap penyakit tumor di kepala. 


Sebagai tindak lanjut, pihak keluarga menyarankan dilakukan operasi sehingga pada waktu itu juga tumor di kepalanya diangkat.


Mengenai jenis penyakitnya ini ZAS secara berkelakar dengan HAMKA mengatakan “Ado malukuik sagadang karambia berkubak”. Ini artinya adalah ….. 


Istilah itu disebutkan HAMKA dalam sebuah surat kepada anak sulung ZAS bernama Rahmi ketika mengabarkan kondisi kesehatan ayahnya, “Ayah berfikir, pusing kepala itu bisa saja timbul kembali, bila suatu soal penting belum selesai. Menurut term Buya ananda itu ialah ado malukuik sagadang karambia berkubak”. 

Setahun kemudian 1981, penyakit yang sama kambuh lagi sehingga kembali menjalani pengobatan di Jakarta.


Pada tanggal 4 Februari 1981, cek kesehatan di RS Cipto Mangunkusumo dilakukan. ZAS diberikan obat sehingga penyakit yang diderita berangsur hilang. Rasa pusing tidak terasa lagi sehingga diperbolehkan pulang.


“Pagi ini beliau datang dengan muka berseri dan gembira menyatakan hasil cek baik. Penyakit di kepala sudah hilang, pusing tidak ada lagi dan sudah boleh pulang ke Padang. Besok, Jumat 6 Februari 1981 pulang”, tulis HAMKA. 


Sebelumnya Buya ZAS juga dinyatakan menderita penyakit prostat. Bahkan ketika baru saja sampai di rumah Nursiah Zaman, langsung dilarikan ke RSI Cempaka Putih. Karena penyakit tersebut, dia sempat dioperasi. 


Pemilihan tempat berobat di RSI Cempaka Putih itu adalah sesuai saran Kasman Singodimedjo yang juga mengidap prostat dan mendapat perawatan di rumah sakit yang sama. 


Pada pengobatan kedua, penyakitnya makin kompleks karena tidak saja mengidap penyakit masalah jasmani tetapi juga beban psikologi. Sebagai seorang ayah, saat itu ZAS mulai banyak memikirkan kondisi anak-anaknya yang sudah patut berumah tangga. Kondisi demikian sesuai dengan pepatah Minang “Baban barek, singguluang batu”. Diantaranya, anak sulungnya bernama Rahmi sudah berumur 29 tahun dan belum berkeluarga.


Hal itu pernah diceritakan HAMKA dalam suratnya kepada Rahmi di Batuhampar, “Buyamu merasa dirinya kian tua, terutama setelah operasi di Jakarta (Mei 1980), terasa kesehatan makin mundur, tetapi ada suatu soal yang lain yaitu anak perempuan belum bersuami”. 


Pada tahun 1983, penyakit tumor semakin menjalar ke bahagian lain di tubuhnya. Buya ZAS dirawat oleh seorang dokter bernama Prof. Dr. Yusuf Misbah di RS Cipto Mangunkusumo, Jakarta. 


Setelah mendapat perawatan intensif selama 4 hari di rumah sakit tersebut, ternyata nyawanya tidak tertolong lagi. Buya ZAS berpulang ke rahmatullah dan menghembuskan nafas terakhir tanggal 10 Maret 1983, dalam usia 70 tahun.


Innalillahi wainnailahi rajiun. Yang datang dari Allah kembali pulang kepada-Nya.


Setelah menjalani prosedur sesuai standar rumah sakit, jenazah dibawa ke rumah Nursiah Zaman di Kebayoran Baru, Jakarta Selatan untuk dimandikan dan dikafani. Sahabatnya HAMKA sudah lebih dahulu berpulang ke rahmatullah dua tahun lalu, 1981.


Jenazah kemudian dishalatkan di Masjid Agung Al Azhar yang diimami oleh Buya HA Malik Ahmad, anggota PP Muhammadiyah. Jenazah kemudian dibawa ke Pemakaman Umum Tanah Kusir untuk dikebumikan. 


Pihak keluarga yang mengantar Buya ZAS ke tempat peristirahatannya yang terakhir itu adalah: Umi Latifah Hanum dengan anak-anaknya yaitu: Muhammad Saqid, ……, dan Muhammad Luthfi.


Tidak hanya itu, kepergiannya juga diantar oleh banyak tokoh dan ummat Islam di Jakarta. Tidak hanya warga Muhammadiyah bahkan anggota Tarbiyah dan NU juga merasa kehilangan mendalam dan meyakini kepergian sosok yang kuat pendirian itu sebagai husnul khotimah. Mereka menyakini almarhum menjadi ahli surga karena selama hidupnya dikenal memiliki prinsip hidup yang kukuh. Dialah ulama yang tidak bisa dibeli dengan uang maupun pangkat dan jabatan.


Rasa kehilangan atas wafatnya Buya ZAS juga diungkapkan melalui berita di koran, surat kabar, majalah dan media massa dan media elektronika lainnya. 


Majalah “Suara Muhammadiyah” No.8/63 tahun 1983 memuat berita dan in memoriam dengan judul “Buya ZAS Wafat: Aktivis Muhammadiyah Sejak Masih Remaja”.


Ketika meninggal dunia, Buya ZAS masih berstatus sebagai Ketua PWM Sumatera Barat, karena itu kepergiannya cukup menggemparkan. Ranah Minang kehilangan sosok ulama kharismatik dengan jumlah anggota yang cukup besar.


Membaca berita kepergiannya di media massa, banyak kalangan di Sumatera Barat terperanjat karena selama ini diketahui sehat-sehat saja.


Begitu juga pihak keluarganya di Galapung, bak pepatah Minang menyatakan “Kaba baiak mahimbauan, kaba buruak bahambauan”. Keluarga Suku Caniago di bawah payung Datuk Sinaro Panjang tersebut berziarah ke Batu Hampar. Diantaranya nampak adik-adiknya yaitu Dalipah Sjoe’aib dan Intan Sjoe’aib. Sementara itu pihak keluarga yang menerima pelayat adalah: …..


Ungkapan duka ditunjukkan masyarakat Minang dan warga Muhammadiyin dengan melayat ke rumah duka di Batu Hampar, Payakumbuh.


Pelayat tidak hanya dari kalangan Muhammadiyah atau warga dari Jorong Koto Tangah, tapi juga elemen masyarakat dari luar daerah. Para pelayat didominasi warga masyarakat selain warga Muhammadiyah seperti masyarakat Piladang, Payakumbuh, Kubang dan lain-lain. 


Kedatangan pelayat itu dalam rombongan besar menggunakan banyak mobil. Lebih mengejutkan adalah kehadiran pelayat dari kampung yang tidak pernah didatangi buya dalam berdakwah. Mereka berziarah secara spontan tatkala mendengar berita di media massa.


Kehadiran pelayat di rumah duka di luar dugaan. Meski meninggal dunia dan dimakamkan di Jakarta, tidak menyurutkan langkah masyarakat menziarahi arwahnya di Batu Hampar.


Salah seorang saksi mata menyatakan, “Ketika berita itu sampai ke Batu Hampar, gempar rasanya negeri kecil itu. Seandainya jenazah buya dibawa ke kampung, untuk dikebumikan di Batu Hampar, tidak bisa dibayangkan banyaknya ummat yang datang melayat ke tempat peristirahatannya yang terakhir”.

Kepergian Buya ZAS selama-lamanya dengan meninggalkan seorang isteri yaitu Umi Latifah Hanum dengan 6 anak yaitu: Rahmi, Muhammad Saqid, Muhammad Sabir, Maisarah, Evawafda, dan Muhammad Luthfi.   


Kepemimpinan ZAS selaku Ketua PWM Sumatera Barat yang belum habis masa jabatannya tersebut dilanjutkan oleh H. Hasan Ahmad yang diangkat oleh PP Muhammadiyah Yogyakarta melalui SK PP Muhammadiyah No. E. 207/PW/78-81-27 September 1983.



***

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pelatihan Muballigh-Muballighah dan HariMU: Meningkatkan Kompetensi Bangun Sinergi Hadapi Tantangan dan Globalisasi

Buya ZAS (1) : MASA KECIL DI KAMPUNG GALAPUNG

Shofwan Karim Obituari Buya Mirdas (4) Keluarga Quran dan Ulama