Budaya Lebaran, Komersialisasi Agama?

 

Keluarga Dr. Drs. Shofwan Karim, M.A. bersilaturrahim Idul Fitri 1440 H kepada Keluarga Dr. Dr. Drs. H. Fahmi Idris, M.H.

Budaya Lebaran,  Komersialisasi Agama?

Oleh Shofwan Karim

 

Semula saya ingin berkomentar,  dampak politik dan  ekonomi kepada agama pada lebaran tahun ini atau sebaliknya, dampak agama terahadap politik dan ekonomi. Misalnya bagaimana politisi mengkomerialisasi agama untuk tujuan politik. Atau kaum agamawan mengkomersialisai diri untuk pencitraan politik. Pengusaha menggunakan aura dan nilai agama untuk pertumbuhan asset . Atau mengapa dulu kaum agamawan adalah tokoh berekonomi kuat tidak tergantung aktifitas dakwahnya dari kaum berpunya. Dan seterusnya. Hal itu rasanya   terlalu komplikatid.

Ambil yang mudah saja, “Budaya Lebaran dan Komersialisasi Agama”. Padahal, tidak ada istilah lebaran dalam agama. Orisinalnya agama hanya menyebut Idul Fitri 1 Syawal tahun hijriah yang berlangsung. Tahun ini 1 Syawal 1442 H. Lebaran? Itu budaya.

Maka budaya bagian dari merayakan Idul Fitri dengan gembira. Antara  budaya dan agama sering berbaur.  Maka pembaca yang berfikir komprehensif-syumuliah,  tidak ada masalah. Semua dirujuknya kepada Quran. Antara lain, al-Anbiya;21:107, “Tidaklah Kami mengutusmu (Muhammad) melainkan untuk menjadi rahmat bagi sekalian alam”.

 

Bayar fitrah? Oh, itu bukan budaya. Ini kewajiban Agama.  Paling tidak membayar zakat diri atau fitrah wajib bagi setiap orang ( atau yang bertanggungjawab atas dirinya) sebelum penutup atau akhir Ramadhan. Ada yang berpendapat sebelum matahari terbit (syuruk) pagi   1 Syawal.

 

Di satu sisi agama dalam merayakan Idul Fitri, sangat simple-sederhan.  Laksakan shalat sunnat Idul Fitri muakad 2 rakaat berjamaah.  Ada yang memganjurkan dengan sangat, mengikuti  Rasulullah, di laksanakan di  lapangan. Ada yang  biasa saja. Di ruangan, Masjid, Musalla, atau rumah pun dengan keluarga tidak apa-apa.

 Bahkan ketika Pandemik Covid-19 masih menggejuju meningkat tajam, lebih adhdal di rumah dengan keluarga atau jamaah yang terbatas asal terapkan Prokes ketat. Pemerintah, MUI, Ormas Islam seperti Muhammadiyah dan lainnya, menganjurkan cara yang terakhir tadi.

 Maka hakikat atau substansi merayakan Idul Fitri dengan Ibadah dan gembira ria secara bersama dapat dikonversi dengan cara baru. Melaui media on line, aplikasi digital, virtual, WA dan seterusnya. Tentu menguras data atau WiFi, bagi yang punya. Maka bila di lihat dari sisi ini, pedagang   out-let penjualan data menjadi meningkat pendapatannya. Sementara konsumen, terkuras koceknya.

 

Kaum politisi sedang menikmati perhelatan ini. Tim sukses tidak pernah berhenti. Bukan hanya pada saat menghadapi Pilpres, Pilkada, dan Pilek sekali 5 tahun. Tim sukses itu bekerja abadi dalam pengabdiannya ke pada majikan politiknya. Instruksi politik yang abadi itu:  viralkan  YouTube, FB, Instagram, Tweeter, yang menyiarkan ucapan selamat Idul Fitri mohon maaf lahir- batin dengan berbagai versi . Platform apllikasi gambar, audio-video, animasi, beberapa sangat menarik. Ada pula yang sangat sederhan, seadanya. Tergantung penguasaan aplikasi oleh Tim atau mood-suasana hati  dan passion-kecendrungan Tim. Tahukah kita bahwa dampaknya sangat positif untuk rasa simapati dan mengokohkan ruh silaturrahim?

 

Di sisi lain, jangan lupa. Kocek terkuras, Gadget macet.  Simpanan memori terbatas. Yang untung tentu  YouTube, Tweeter, Facebook, TikTok atau si Pemesan. Setiap buka HP, yang keluar iklan sebelum Aplikasi Medsos tadi kita baca, tonton dan dengar. Detik-detik berlalu itu menguras data dan pulsa. Ini semua kita sadari. Tetapi bagaimana lagi? Harus gaul dan indahnya silaturrahim.

Kaum agamawan? Ya ikut.  Semua Ustadz, Buya, Mubaligh, Kiyai dengan  lincah mengunakan Medsos. Tentu beda isinya. Mereka mengajak mengamalkan nilai agama atau Amar Ma’ruf Nahi Munkar. Kata pengagum Amien Rais,  “Tegakkan Keadilan dan Lawan Kezaliman”. Tentu  dengan berbagai versi pula.

Meskipun para agamawan itu tidak suci pula  dari komersialisasi tadi. Dengan gagahnya terpampang foto Si Tokoh. Di situ ada kata hikmah, ayat, hadist. Di kaki bawah ada nama mereka sebaris logo FB, Tweeter, IG dll. Padahal tidak semua juga beliau lihat siapa yang komen, like,  imoji,  share atau teruskan. Ya, dalam hal ini sama  saja kita. Tokoh, politisi, usahawan, anak muda bahkan agamawan.

Paling tidak, kalau politisi, usahawan, tokoh, generasi milenial untuk tetap menjaga tali silaturrahim dengan konstituen dan konsumen, atau sahabat mereka.  Maka kaum agamawan memperkokoh tali batin terhadap jamaah atau masyarakat yang mengenalnya.

Apa hal seperti itu digeneralisasi sebagai  komersialisasi? Menurut saya, “tidak”, kata Si Pulan. “Itukan menjaga silaturrahim. Sulaturrahim itu perlu ongkos.”.

 Lain kata Pulanah. “Itu  memang komersialisasi”. Bukan hanya untuk uang. Mempopulerkan nama itu saja sudah komersialisasi”.Eh, jangan salah”, kata Pulan. Buya Hamka, Natsir, Agus Salim, itu dipopulerkan niai kehidupan dan ucapan mereka.

 Oh, beda. Kalau itu bukan budaya komersialisasi agama, tetapi penyadaran hidup untuk lebih berarti.” Timpal Pulan .

Lebih jauh, kata Pulan, “Firman Allah, hadis Rasulullah, perkataan ulama, bila itu dipajang di Medsos niatnya  beda dengan komersialisasi. Itu dakwah murni. Tetapi pemajangan foto sendiri yang setiap hari di viralkan, itu dekat dengan budaya komersialisasi”. Dan kalau ustazd atau ulama yang begitu?”,  timpal Pulanah.

“ Itu tergantung niatnya”, jawab Pulan. “Kalau niatnya supaya popular dan taushiyahnya diikuti orang, bukan komersialsasi agama. Itu tugas dakwah”

“. Kalau politisi dan Pengusaha? Juga bukan komersialisasi. Karena mereka punya tanggungjawab komersial terjahadap konstituen dan konsumennya. Semakin popuer akan semakin banyak orang datang minta bantuan. Tetapi tentu tidak semua orang berjasa kepadanya ia ingat. Apa lagi tidak setiap tokoh punya memori Gadget sampaii satu atau 2 TB.  Kalau pun punya memori raksasa, di Tokoh tidak pernah buka, kecuali asisten pribadnya yang pilih-pilih”

Nah lebaran tiba, maka poltisi dan pengusaha yang paling banyak menebar paket dan vialkan diri. .Tentu juga  agamawan paling banyak tebar taushiyah dan salurkan paket, (kalau  ada titipan) . Maka seimbanglah antara budaya, agama dan komersialisasi. Begitu, kan?. Allahu al-a’lam bi al-shawab.***

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pelatihan Muballigh-Muballighah dan HariMU: Meningkatkan Kompetensi Bangun Sinergi Hadapi Tantangan dan Globalisasi

Buya ZAS (1) : MASA KECIL DI KAMPUNG GALAPUNG

Shofwan Karim Obituari Buya Mirdas (4) Keluarga Quran dan Ulama