Budaya Lebaran, Komersialisasi Agama?
Budaya Lebaran, Komersialisasi Agama?
Oleh Shofwan Karim
Semula saya ingin berkomentar, dampak politik dan ekonomi kepada agama pada lebaran tahun ini
atau sebaliknya, dampak agama terahadap politik dan ekonomi.
Misalnya bagaimana politisi mengkomerialisasi agama untuk tujuan politik. Atau
kaum agamawan mengkomersialisai diri untuk pencitraan politik. Pengusaha menggunakan aura dan nilai agama untuk
pertumbuhan asset . Atau mengapa dulu kaum agamawan adalah tokoh berekonomi
kuat tidak tergantung aktifitas dakwahnya dari kaum berpunya. Dan seterusnya.
Hal itu rasanya terlalu komplikatid.
Ambil yang mudah saja, “Budaya
Lebaran dan Komersialisasi Agama”. Padahal, tidak ada istilah lebaran dalam
agama. Orisinalnya agama hanya menyebut Idul Fitri 1 Syawal tahun hijriah yang
berlangsung. Tahun ini 1 Syawal 1442 H. Lebaran? Itu budaya.
Maka budaya bagian dari merayakan
Idul Fitri dengan gembira. Antara budaya
dan agama sering berbaur. Maka pembaca yang
berfikir komprehensif-syumuliah, tidak
ada masalah. Semua dirujuknya kepada Quran. Antara lain, al-Anbiya;21:107, “Tidaklah Kami mengutusmu (Muhammad) melainkan
untuk menjadi rahmat bagi sekalian alam”.
Bayar fitrah? Oh, itu bukan
budaya. Ini kewajiban Agama. Paling tidak membayar zakat diri atau
fitrah wajib bagi setiap orang ( atau yang bertanggungjawab atas dirinya) sebelum
penutup atau akhir Ramadhan. Ada yang berpendapat sebelum matahari terbit (syuruk) pagi 1
Syawal.
Di satu sisi agama dalam
merayakan Idul Fitri, sangat simple-sederhan.
Laksakan shalat sunnat Idul Fitri muakad 2 rakaat berjamaah. Ada yang memganjurkan dengan sangat,
mengikuti Rasulullah, di laksanakan
di lapangan. Ada yang biasa saja. Di ruangan, Masjid, Musalla, atau
rumah pun dengan keluarga tidak apa-apa.
Bahkan ketika Pandemik Covid-19 masih
menggejuju meningkat tajam, lebih adhdal
di rumah dengan keluarga atau jamaah yang terbatas asal terapkan Prokes ketat.
Pemerintah, MUI, Ormas Islam seperti Muhammadiyah dan lainnya, menganjurkan
cara yang terakhir tadi.
Maka hakikat atau substansi merayakan Idul
Fitri dengan Ibadah dan gembira ria secara bersama dapat dikonversi dengan cara
baru. Melaui media on line, aplikasi digital, virtual, WA dan seterusnya. Tentu
menguras data atau WiFi, bagi yang punya. Maka bila di lihat dari sisi ini,
pedagang out-let penjualan data menjadi
meningkat pendapatannya. Sementara konsumen, terkuras koceknya.
Kaum politisi sedang menikmati perhelatan
ini. Tim sukses tidak pernah berhenti. Bukan hanya pada saat menghadapi Pilpres,
Pilkada, dan Pilek sekali 5 tahun. Tim sukses itu bekerja abadi dalam pengabdiannya
ke pada majikan politiknya. Instruksi politik yang abadi itu: viralkan YouTube, FB, Instagram, Tweeter, yang
menyiarkan ucapan selamat Idul Fitri mohon maaf lahir- batin dengan berbagai
versi . Platform apllikasi gambar, audio-video, animasi, beberapa sangat
menarik. Ada pula yang sangat sederhan, seadanya. Tergantung penguasaan
aplikasi oleh Tim atau mood-suasana hati
dan passion-kecendrungan Tim. Tahukah kita bahwa dampaknya sangat
positif untuk rasa simapati dan mengokohkan ruh silaturrahim?
Di sisi lain, jangan lupa. Kocek
terkuras, Gadget macet. Simpanan memori
terbatas. Yang untung tentu YouTube, Tweeter,
Facebook, TikTok atau si Pemesan. Setiap buka HP, yang keluar iklan sebelum Aplikasi
Medsos tadi kita baca, tonton dan dengar. Detik-detik berlalu itu menguras data
dan pulsa. Ini semua kita sadari. Tetapi bagaimana lagi? Harus gaul dan
indahnya silaturrahim.
Kaum agamawan? Ya ikut. Semua Ustadz, Buya, Mubaligh, Kiyai
dengan lincah mengunakan Medsos. Tentu
beda isinya. Mereka mengajak mengamalkan nilai agama atau Amar Ma’ruf Nahi Munkar. Kata pengagum Amien Rais, “Tegakkan Keadilan dan Lawan Kezaliman”.
Tentu dengan berbagai versi pula.
Meskipun para agamawan itu tidak
suci pula dari komersialisasi tadi.
Dengan gagahnya terpampang foto Si Tokoh. Di situ ada kata hikmah, ayat, hadist.
Di kaki bawah ada nama mereka sebaris logo FB, Tweeter, IG dll. Padahal tidak semua
juga beliau lihat siapa yang komen, like,
imoji, share atau teruskan. Ya,
dalam hal ini sama saja kita. Tokoh,
politisi, usahawan, anak muda bahkan agamawan.
Paling tidak, kalau politisi,
usahawan, tokoh, generasi milenial untuk tetap menjaga tali silaturrahim dengan
konstituen dan konsumen, atau sahabat mereka. Maka kaum agamawan memperkokoh tali batin
terhadap jamaah atau masyarakat yang mengenalnya.
Apa hal seperti itu
digeneralisasi sebagai komersialisasi? Menurut
saya, “tidak”, kata Si Pulan. “Itukan menjaga silaturrahim. Sulaturrahim itu perlu ongkos.”.
Lain kata Pulanah.
“Itu
memang komersialisasi”. Bukan
hanya untuk uang. Mempopulerkan nama
itu saja sudah komersialisasi”. “Eh,
jangan salah”, kata Pulan. Buya Hamka, Natsir, Agus Salim, itu dipopulerkan niai kehidupan dan
ucapan mereka.
“ Oh,
beda. Kalau itu bukan budaya
komersialisasi agama, tetapi penyadaran hidup untuk lebih berarti.” Timpal Pulan .
Lebih jauh, kata Pulan, “Firman Allah, hadis Rasulullah, perkataan ulama, bila itu dipajang di
Medsos niatnya beda dengan
komersialisasi. Itu dakwah murni. Tetapi pemajangan foto sendiri yang setiap
hari di viralkan, itu dekat dengan budaya komersialisasi”. Dan kalau ustazd
atau ulama yang begitu?”, timpal Pulanah.
“ Itu tergantung niatnya”, jawab Pulan. “Kalau niatnya supaya
popular dan taushiyahnya diikuti orang, bukan komersialsasi agama. Itu tugas
dakwah”
“. Kalau politisi dan Pengusaha? Juga bukan komersialisasi. Karena
mereka punya tanggungjawab komersial terjahadap konstituen dan konsumennya.
Semakin popuer akan semakin banyak orang datang minta bantuan. Tetapi tentu tidak
semua orang berjasa kepadanya ia ingat. Apa lagi tidak setiap tokoh punya
memori Gadget sampaii satu atau 2 TB. Kalau pun punya memori raksasa, di Tokoh tidak
pernah buka, kecuali asisten pribadnya yang pilih-pilih”
Nah lebaran tiba, maka poltisi
dan pengusaha yang paling banyak menebar paket dan vialkan diri. .Tentu juga agamawan paling banyak tebar taushiyah dan
salurkan paket, (kalau ada titipan) . Maka
seimbanglah antara budaya, agama dan komersialisasi. Begitu, kan?. Allahu
al-a’lam bi al-shawab.***
Komentar
Posting Komentar