Buya Zas-2: KEPEDULIAN BUYA ZAS KE KAMPUNG HALAMAN

 







KEPEDULIAN BUYA ZAS KE KAMPUNG HALAMAN 

Oleh: Efri Yoni Baikoeni


Karena interaksi dengan pentolan Muhammadiyah, di Galapung telah didirikan organisasi Muhammadiyah tahun 1930 bersamaan dengan kampung-kampung lain selingkar Danau Maninjau.


Menurut Hamka bahwa menjelang diselenggarakannya Konggres Muhammadiyah ke-19 di Bukittinggi tanggal 14-21 Maret 1930, daerah ‘salingkaran’ Maninjau telah berdiri ranting groep seperti Tanjung Sani, Pandan, Galapung, Batu Nanggai, Muko Jalan, Sigiran, Airikir Koto Panjang. Sebelum pelaksanaan Konggres itu, organisasi Muhammadiyah di Sumatera Barat telah berdiri di 27 daerah.


Tidak salah, kalau dari kampung Galapung ini kemudian bermunculan tokoh-tokoh Muhammadiyah yang militan. Selain ZAS, Galapung juga melahirkan tokoh besar Muhammadiyah seperti Rasjid Idris Dt Sinaro Panjang, Rasjid Thalib dan lain-lain. 





Hubungan ZAS dengan Rasyid Idris Dt. Sinaro Panjang cukup dekat karena mereka masih berkerabat, bahkan sama-sama bersuku Caniago. Tidak hanya itu, ZAS adalah “panungkek” atau wakil dari Rasyid Idris Dt. Sinaro Panjang selaku penghulu di dalam Persukuan Caniago di Tanjung Sani. Ini artinya jika Rasyid Idris Dt. Sinaro Panjang meninggal dunia lebih dahulu, maka sako Dt. Sinaro Panjang turun kepada ZAS sebagai “panungkek”.  Ketika mudanya, Rasyid Idris Dt. Sinaro Panjang pemimpin pertama organisasi kepanduan Muhammadiyah yaitu Hizbul Wathan (HW) Minangkabau sudah yang merupakan cabang HW pertama di luar Pulau Jawa. Selain itu, Rasyid Idris Dt. Sinaro Panjang adalah kepala Kulliyatul Muballighien di Padang Panjang. Untuk mengenang jasa-jasanya yang luar biasa tersebut, saat ini jalan yang menuju kompleks Kauman Padang Panjang, dinamai dengan Jalan RI Dt. Sinaro Panjang.


Sementara itu, Rasjid Thalib adalah putera nagari Galapung yang sukses merantau di Palembang, Sumatera Selatan. Aktivitasnya dalam Muhammadiyah pernah mengantarkan lelaki  bersuku Malayu tersebut sebagai Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Wilayah Sumatera Selatan. 


Pada tahun 1940, di Galapung sudah berdiri amal usaha Muhammadiyah berupa Sekolah “Wathaniah”. Lama pendidikannya hanya 3 tahun yang setara dengan Sekolah Rakyat (SR).  


Diantara guru-guru yang pernah mengajar di sekolah tersebut bernama Mukhtar Khatab (berasal dari Batu Nanggai), Ali Hafsah dan Lutain yang berasal dari Batu Kambing. Pelajaran yang diberikan kepada murid lebih didominasi oleh pelajaran agama Islam. Selain itu juga diajarkan pelajaran umum seperti Ilmu Bumi (Geografi), Berhitung (Matematika), Menulis dan lain-lain. Diantara tokoh Muhammadiyah yang berperan dalam gerakan Muhammadiyah di Groep (Ranting) Galapung seperti Kassim Ahmad (guru), Sutan Mahmud dan lain-lain. 


Perhatian ZAS kepada kampungnya dalam pengembangan Islam dan khususnya Muhammadiyah cukup besar. Setelah kembali ke Sumatera Barat pasca dibekukannya Konstituante melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959, ZAS seringkali pulang ke Galapung. Selain bersilaturrahmi dengan keluarganya, kesempatan itu digunakannya juga untuk berdakwah. 


Salah satu kontribusinya adalah mengirim seorang guru Muhammadiyah yang ditempatkan di Galapung. Guru tersebut bernama Hasan Basri Ismail yang berasal dari Payakumbuh. Sang guru kemudian mengajar di Madrasah Diniyah Awaliyah dan cukup lama menetap (lebih 30 tahun) bersama keluarganya di Galapung. Keberadaan tenaga mubaligh tersebut telah menghidupkan syiar dakwah Muhammadiyah di kampung kecil itu. Salah satunya adalah pembangunan Masjid “Istighfar” tahun 1967 dengan mengandalkan dana swadaya masyarakat. Setelah berdirinya masjid, Hasan Basri Ismail bersama dengan Syamsudin Yacub St Sudin dan Makmur Wahab Basa Majolelo melakukan pembangunan Madrasah Diniyah Awaliyah (MDA) yang merupakan bekas sekolah Wathaniyah.


Pada tahun 2020, Masjid “Istighfar” dilanda bencana tanah longsor “galodo” yang menyebabkan hancurnya masjid tersebut. Sebagian bangunan masjid tampak tertimbun tanah, sedangkan sebagian lainnya masih tersisa, sehingga tidak mungkin digunakan lagi. Tidak hanya itu, areal masjid itu berubah menjadi Daerah Aliran Sungai (DAS). Bencana tersebut juga mengakibatkan lahan masjid yang berdekatan dengan bangunan MDA terputus akibat adanya saluran air menuju danau.  


Atas inisiatif masyarakat, pada tahun yang sama lokasi masjid kemudian dipindahkan tidak jauh dari lokasi yang lama (20 meter). Areal yang digunakan untuk pembangunan masjid yang baru merupakan tanah wakaf harta pusaka tinggi keluarga besar ZAS (Suku Caniago, payung Datuk Sinaro Panjang). Sedangkan biaya pembangunan berasal dari swadaya masyarakat terutama perantau Galapung di Jakarta.



****

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pelatihan Muballigh-Muballighah dan HariMU: Meningkatkan Kompetensi Bangun Sinergi Hadapi Tantangan dan Globalisasi

Buya ZAS (1) : MASA KECIL DI KAMPUNG GALAPUNG

Shofwan Karim Obituari Buya Mirdas (4) Keluarga Quran dan Ulama