Buya ZAS (1) : MASA KECIL DI KAMPUNG GALAPUNG


Fami Buya Zainal Abidin Syuaib (ZAS) . Foto EYB


MASA KECIL DI KAMPUNG GALAPUNG 

Oleh: Efri Yoni Baikoeni


ZAS dilahirkan pada tahun 1913 di Galapuang, di pinggiran Danau Maninjau. Saat ini Galapuang merupakan sebuah jorong dari 11 jorong dalam Kenagarian Tanjung Sani, Kecamatan Tanjung Raya, Kabupaten Agam, Propinsi Sumatera Barat.


Di Kecamatan Tanjung Raya (dulu Kecamatan X Koto Maninjau) terdapat sebanyak tujuh nagari di sekitar Danau Maninjau. Tujuh nagari yang dimaksud adalah: 1) Maninjau, 2) Sungai Batang, 3) Tanjung Sani, 4) Bayua, 5) Tigo Koto, 6) Koto Kaciak, dan 7) Duo Koto. 


Danau Maninjau adalah sebuah danau vulkanik yang terletak di Kecamatan Tanjung Raya dengan luas sekitar 99,5 km2 dan kedalaman mencapai 495 meter. Danau Maninjau merupakan danau terluas ke-11 di Indonesia, dan terluas ke-2 di Sumatera Barat. Menurut cerita, Danau Maninjau pada awalnya merupakan gunung berapi “Gunung Tinjau” yang di puncaknya terdapat sebuah kawah yang luas.  Kepercayaan terhadap asal muasal Danau Maninjau dari kawah Gunung “Tinjau” terdapat dalam legenda atau cerita rakyat (folkclore) berjudul “Bujang Sembilan”.


Maninjau adalah daerah yang molek sekaligus intelek karena di sekeliling danau nan cantik tersebut, bertebaran banyak ulama yang memiliki ilmu pengetahuan yang luas. Kampung atau nagari di selingkar Danau Maninjau melahirkan banyak tokoh baik berskala lokal, nasional bahkan internasional dari dahulu sampai sekarang. Sebut diantaranya adalah: Mohammad Natsir, Dr. H. Abdul Karim Amrullah (Ayah HAMKA), AR Sutan Mansur, HAMKA, RI Dt. Sinaro Panjang, HR Rasuna Said, KH Isa Anshari, Duski Samad, DN Aidit (tokoh PKI), H. Bachtiar Chamsah,  Mayor Jenderal (Purn) Kiflan Zein, Jenderal Syamsu Djalal (mantan Danjen Kopassus), Sabilal Rasyad, Rusydi HAMKA, Ahmad Fuadi, Arteria Dahlan, dan lain-lain.


Ayah ZAS bernama Sjoe’aib St Mangkuto (Suku Malayu) sedangkan ibunya bernama Aisyah (Suku Caniago dibawah payung Datuk Sinaro Panjang). Kedua orang tuanya berasal dari Jorong Galapung di tepian Danau Maninjau nan permai. 


Ayah Sjoe’aib bekerja sebagai petani dan berkebun. Secara geografis, Galapung berada di tepian danau sekaligus dikelilingi perbukitan. Karena itu tidak banyak lahan yang tersisa untuk dijadikan sawah. Alternatif lainnya adalah menanam tanaman keras seperti buah pala, kulit manis (cassiavera), durian dan lain-lain. Selain itu, penduduk pada umumnya juga mencari ikan di Danau Maninjau dengan menggunakan alat yang masih sederhana seperti memukat dengan menggunakan sampan mengharungi danau atau memancing di tepian.


Tidak lama kemudian, Sjoe’aib berpindah profesi sebagai pedagang kain. Dalam berjualan kain itu, dia sempat pergi berdagang sampai ke Lampung. Meski demikian keluarga ini tidak pernah merantau karena sampai meninggal dunia, mereka menetap di Galapung. 


Ayah ZAS meninggal dunia pada era kolonial Belanda, sedangkan ibunya meninggal pada masa pendudukan Jepang tahun 1944. Keduanya kemudian dimakamkan di pandam pekuburan keluarga di Jorong Galapung, Nagari Tanjung Sani. Pada tahun 2020 terjadi bencana longsor di Galapung yang turut menghayutkan pandam pekuburan keluarga tersebut.


ZAS merupakan anak ke-3 dari 8 bersaudara dengan nama-nama yaitu: 1) Abdurrahim Sjoe’aib, 2) Burhanuddin Sjoe’aib, 3) Zainoel Abidin Sjoe’aib (ZAS), 4) Siti Aisyah Sjoe’aib, 5) Dalipah Sjoe’aib, 6) Syarikam Sjoe’aib, 7) Intan Zaman Sjoe’aib, dan 8) Bakhtiar Sjoe’aib. 


Saat ini hanya keturunan dari Dalipah Sjoe’aib yang masih tinggal di Galapung, bernama Nurhani Saldi. Rumah keluarga besar ZAS saat ini berada di depan Masjid Muhammadiyah “Istighfar”, karena lahan pembangunan masjid tersebut merupakan wakaf dari keluarga ZAS. Sementara itu, rumah kelahiran ZAS berupa rumah gadang sudah tidak ada lagi karena lapuk dimakan usia. 


****

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pelatihan Muballigh-Muballighah dan HariMU: Meningkatkan Kompetensi Bangun Sinergi Hadapi Tantangan dan Globalisasi

Shofwan Karim Obituari Buya Mirdas (4) Keluarga Quran dan Ulama