Shofwan Karim, Obituari Buya Mirdas Ilyas



Shofwan Karim, Obituari Buya Mirdas Ilyas (1) Bayani, Sunnatullah, Takdir?




Buya Mirdas adalah Ketua PDM Padang Panjang Batipuh X Koto 2005-2010. Sejak 2015 adalah penasihat.

Alquran banyak memberi ingat tentang kematian. Kematian adalah salah satu hal yang pasti akan dihadapi oleh manusia.

Saat kematian datang, jiwa akan terlepas dari raganya. Lahir-maut, jodoh dan rezeki adalah 3 hal yg menjadi takdir. Dalam Islam 3 takdir itu yang menjadi rahasia dan hanya Allah SWT yang mengetahui, termasuk di dalamnya adalah kematian.

Buya Mirdas Ilyas dan Buya Rumsas Adrifin, Siswa Tingkat III SP-IAIN IB Padang 1971. (Foto Dok Rumsas)


Ketika waktu kematian telah datang menghampiri, manusia tidak dapat menolak atau menghindarinya. Oleh karena itu, selama hidup di dunia, manusia harus selalu mengingat Allah SWT dan tidak terbuai oleh kenikmatan duniawi saja.

Dalam sebuah hadis, Rasulullah SAW berpesan, “Perbanyaklah olehmu dalam mengingat penghancur segala kelezatan dunia, yaitu kematian,” (HR at-Tirmidzi).

Firman Allah SWT dalam beberapa ayat Alquran menyatakan kematian adalah hal yang nyata. Bukan sebuah akhir, tetapi sebagai awal fase kehidupan yang baru.

Meminjam epistimologi Al-Jabiri : Bayani, burhani dan irfani, (nash, nalar, dan hikmah), dalam epistimologi bayani, ayat dan hadis banyak mengelaborasi tentang kematian.

Berikut ini adalah beberapa ayat di Alquran yang membahas tentang kematian serta memuat nasihat dan pesan.


Di antaranya QS. Ar-Rahman: 26-27

كُلُّ مَنْ عَلَيْهَا فَانٍ * وَيَبْقَى وَجْهُ رَبِّكَ ذُو الْجَلَالِ وَالْإِكْرَامِ


Semua yang ada di bumi itu akan binasa (26). Dan tetaplah kekal Dzat Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan (27).

QS. Al-Mulk: 2

الَّذِي خَلَقَ الْمَوْتَ وَالْحَيَاةَ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلًا وَهُوَ الْعَزِيزُ الْغَفُورُ

Allah lah yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapakah di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.

QS. Al-Anbiya: 34-35

وَمَا جَعَلْنَا لِبَشَرٍ مِنْ قَبْلِكَ الْخُلْدَ أَفَإِنْ مِتَّ فَهُمُ الْخَالِدُونَ

Kami tidak menjadikan hidup kekal bagi seorang manusiapun sebelum kamu. Maka jika kamu mati, apakah mereka akan kekal?. – (QS. Al-Anbiya: 34)

كُلُّ نَفْسٍ ذَائِقَةُ الْمَوْتِ وَنَبْلُوكُمْ بِالشَّرِّ وَالْخَيْرِ فِتْنَةً وَإِلَيْنَا تُرْجَعُونَ

Tiap-tiap yang bernyawa pasti akan merasakan mati. Dan Kami akan menguji kamu dengan keburukan serta kebaikan sebagai cobaan. Dan hanya kepada Kamilah kamu akan dikembalikan. – (Q.S Al-Anbiya: 35)


Buya dan Nyonya dari Bandara Adi Sumarno ke Rumah Afrida Nasir, Solo. Reuni 2017. (Dok)


Sunnatullah atau takdir?

Pagi 03.35, Sabtu, 31 Juli 2021, sahabat Drs. H. Mirdas Ilyas, B.A. berpulang ke rahmatullah. Innalillah wa inna ilaihirajiun.

Setelah beberapa hari perawatan di RS Jamil Padang. Sebelumnya puluhan pesan medsos mendoakan Buya cepat sehat kembali. Ada puluhan grup Muhammadiyah dan Alumni IAIN-UIN yang saya ikuti.
 

Semasa reuni yang aktif diikuti Buya Mirdas. Ini di Solok. (Dok)

Inilah sunnatullah. Orang lain menyebut takdir. Oleh Nurcholish Madjid ada beda antara muda-tua; hidup dan mati; berbanding, api-membakar; air-membasahi. Yg pertama disebutnya sunnatullah dan yg kedua disebutnya takdir.

Yang pertama konsistensi; yang kedua adalah sebab-akibat. Tentu kita tak perlu berdebat dg almarhum Cak Nur itu. Wa Allahu a'lam.

Berpulangnya ke rahmatullah sahabat Mirdas dan siapapun, menurut Cak Nur sunnatullah atau bagi yg lain adalah takdir, dapat kita maklumi secara seksama.

Pada pokoknya setiap hari di grup WA berita kematian selalu ada. Terutama sejak hampir 2 tahun wabah corona ini.

Disebut atau tidak asosiasi pikiran macam-macam. Ada yg berasumsi asal wafat di RS maka tafsirannya lantaran Corona. Padahal belum tentu. Yang pasti adalah sudah sampai ajalnya. (Bersambung)





Di rumah konco Sya’roni, Rambatan. Reuni angk 72 BA FT IAIN IB Nov 2019 (Dok)


SHOFWAN KARIM, OBITUARI  BUYA MIRDAS ILYAS (2): SP-IAIN DAN QARI







Buya Mirdas Ilyas (paling kanan) mengajak alumni IAIN 1972 ke Resto (latar belakang foto) miliknya di Panyalaian, November 2019. (Dok-arikPri).k

Saya tersentak. Dalam degupan dada mengenang kebersamaan. Pada tahun 1969, kami adalah siswa Sekolah Persiapan IAIN (SP IAIN) Padang Panjang. SP-IAIN belakangan ada di Padang, Lubuk Alung, Bukittinggi, Payakumbuh dan Batu Sangkar. Berada di bawah satu inspektorat, Inspekturnya Adalah Buya H. Nashruddin Thaha. Seorang tokoh terkenal masa itu.

Salah seorang pendiri Islmic College Padang dan Payakumbuh, alumni Azhar Kairo itu, konon pernah menjadi Menteri Pendidikan masa PRRI. Belakangan dinormalisasikan dan beliau menjadi pegawai kementerian Agama RI dan menjadi dosen IAIN IB Padang.

Alumni IAIN angkatan 1972 sempat menikmati kuliah dengan Buya yang tinggi semampai ini. Mata Kuliah yang diasuhnya Pendidikan Akhlak. Ciri khas beliau sebelum kuliah berdoa bersama dulu. Baru suaranya yang lembut tetapi dalam vokal dan intonasi yang jelas dan terang kuliah itu mendalam dan meluas ke antar disiplin.





Kembali ke SP IAIN. Teman sekelas kami selain Buya Mirdas dari Panyalaian adalah Noviar dari Singkarak. Suhardi dari Sulit Air perantau dari Palembang. Asaad dari Muara Bungo. Rusydi Tanjul Aulia dari Selayo. Sumarman dari Solok. Baharuddin Indra dari Batu Sangkar. Ahmad Djarimi dari Tanjung Agung.

Ada Nurlis dan Nurhayati dari Gunung Padang Panjang. Mustimar sekampung dengan Buya dari Panyalaian. Afrida dari Rao , Pasaman. Kartini dari Paninjauan. Muslim dari Pariaman.

Kepala sekolah, waktu itu disebut Direktur SP-IAIN adalah Bp. H. Djamaan Karim Jum'ah, MA merangkap guru Fikih dari Paninjauan. Isterinya Hj. Djusmaniar Amir Hakim, M.A dari Koto Laweh adalah guru kami Qawaid Bahasa Arab. Kedua mereka lulusan Al-Azhar Mesir. Mereka juga dosen FU IAIN IB Padang Panjang. belakangan ditarik ke Padang.
Selain itu guru Ilmu Tauhid kami adalah Bp. Syamsul Bahri Khatib waktu itu masih B.A. belakangan Prof. Dr. dari Sikaladi. Ada guru Ushul Fikh Bp (sering disebut ayah) Sudirman, B.A dari Paninjauan. Belakangan Drs., M.A. Berikutnya. Sejarah Pendidikan Islam Bp. Drs. Chairuddin dari Maninjau. Bp. Drs. Zulkarnain Hakim guru Ilmu Ekonomi dari Sulik Aie. Ibu Dra. Rabi'ah guru Ilmu Jiwa dari Batu Sangkar. Bp. Drs. Sjafaruddin dari Solok guru Bahasa Indonesian . Bp. Drs. Suhaimi Taher guru Ilmu Falak dan Ilmu Alam dari Panyalaian. Ibu Rahimah Ahmad M.A. Guru Tafsir dan Hadist dari Banuhampu. Bp Drs. Meisunar Guru Olahraga dari Maninjau. Bp. Rasul Hamidi guru Ilmu Tata Negara daribPadang Lua Singkarak. Juga Bp Rustam guru Bahasa Inggris yang terkenal tamatan Singapura.
Guru-guru kami tadi sebagian besar juga guru Thawalib, Diniyah dan Kauman, Padang Panjang.

SP-IAIN menyebut kelas sebagai tingkat. Padahal setingkat SLTA. Kami masuk melalui testing berdasarkan ijazah Madrasah 3 tahun dan boleh tamat SMP. Kalau tamat Madrasah masuk langsung sedangkan tamat SMP harus testing baca Quran dan pengetahuan dasar agama. Saya beruntung di samping saya juga belajar di Madrasah Alhidayatul Islamiyyah dulunya.

Pada waktu itu Madrasah masa belajarnya 7 tahun. Setelah 4 tahun pertama sambung 3 tahun. Mungkin karena SP IAIN menerima tamat SMP 3 tahun, maka kelas 4 Madrasah diterima tingkat 2.





Dan mereka kelas 6 di madrasah, pindahannya diterima tingkat 3 dan tahun itu langsung ujian akhir. Mereka hemat, 1 tahun. Maka banyak yang pindah ke SP IAIN dari berbagai Madrasah. Istimewa dari Diniyah dan Thawalib serta PGA.

Pada tahun 1975 ketika sekolah agama negeri mengalami perubahan menjadi Tsanawiyah dan Aliyah, maka SP IAIN menjadi Aliah. PGAP dan PGAA pun diubah ke Tsanawiyah dan Aliyah itu.

Buya Mirdas sama masuk tingkat 1 dg saya. Agaknya juga dari SMP. Beliau punya kelebihan. Suaranya bagus. Bacaan Quran bagus. Beliau Qari. Aktif menjadi guru dan pengasuh didikan subuh di Kampungnya Panyalaian. Padahal usia masih belasan tahun.
Belakangan Buya juga menjadi guru dan pembina didikan subuh di Surau belakangan menjadi Masjid Zu'ama Jembatan Besi Padang Panjang.

Jalan jembatan besi itu belakangan setelah Etek Rahmah wafat menjadi Jl. Rahmah El Yunusiah. Tentu saja dalam literatur pendidikan Islam Indonesia Surau Jembatan Besi masih abadi ketika menyebut Dr Abdul Karim Amrullah, ayah HAMKA pada dekade awal abad lalu.
(Bersambung)



SHOFWAN KARIM, OBITUARI BUYA MIRDAS ILYAS (3): SATU RUMAH-POSKO BERSAMA





Saya, Abdul Hadi, Syar'i tinggal "ngekos" di kediaman Bp Jamaan-Ibu Djus di Bukitsurungan. Tinggal di rumah pasangan Direktur-isteri yang guru SP-IAIN ini sangat nyaman.

Abdul Hadi dari Rantau Ikil pindahan Thawalib langsung tingkat 3 di SP. Syar'i dari Dusun Panjang, guru Thawalib yg sedang selesaikan kuliah di FU Padang Panjang. Keduanya senior saya. Senang tinggal dengan Direktur, Guru dan senior. Ada yg bimbing belajar dan tempat bertanya.


Keadaan itu tak lama. Anak saudara Ibu Djus, dua remaja perempuan bergabung di rumah itu. Satu dari Kampungnya Kotolaweh, Yennita,  sekolah di SPG Padang Panjang. Satu lagi Nona Stefin Uring dari Manado, masuk SMP 1.


Padahal sebelumnya sudah ada Umi, ibunda Bu Djus. Adiknya, Anwar yg sekolah di STM. Ada putri-putra mereka Fairuz (pr), Elwisyam(lk) dan Mirfad (pr) yang masih kanak-kanak. 

Meski rumah itu cukup besar, tetapi kamarnya tidak banyak. Maka kami bertiga secara sangat bijak mohon pindah kediaman. Ketiga kami mencari tempat masing-masing. 


Saya di sekolah memberitahu teman-teman keadaan itu. Tiba-tiba saja Buya Mirdas bilang, ka tampek ambo sajo. Perai, katanya. Jauah, Buya. Indak mungkin ambo tiga di Pakan Rabaa tudoh, kata saya. (Pakan Rabaa dalam kepala saya sama saja dg Panyalaian. Belakangan baru tahu ada sedikit beda walau kawasan sama).



Tidak, katanya. Bukan di kampuang tapi di Jembatan Besi. Jaraknya hanya 500 meter dari sekolah kami di Pasa Usang.

Rupanya rumah petak yg lumayan bagus. Ruang tamu, 1 kamar tidur, Dapur dan WC-Kamar Mandi. Rumah itu hanya ditempati Buya, kalau sempit waktu pulang ke Panyalaian. Atau ketika beliau jadwal membimbing Didikan Subuh 1 kali sepekan Masjid Zu'ama Surau Jembatan Besi, di samping agenda Didikan  Subuh di Kampungnya.

Jadi tidak pernah dalam sepekan itu penuh, Buya bermalam di rumah petak itu. Cuma, katanya, sekali dalam beberapa hari dalam setahun pemilik rumah berkunjung ke sini. Beliau adalah Bp Sidi Ringgit yang dg isteri tinggal di rumah anaknya di Pekanbaru. Kota itu bagi saya sangat jauh di masa itu. Baru saya ke Pekanbaru setelah menjadi mahasiswa beberapa tahun belakangan. Buktinya memang tidak sering kedatangan Bp Sidi Ringgit  sendiri atau bersama isteri menengok dan bermalam di rumahnya ini. Kedua suami istri itu perkiraan saya waktu itu usia mereka di atas 60-an. Orangnya baik. Kalau mereka datang saya hanya bantu ibu masak dan santap apa yg mereka makan. Keduanya  bersih, necis dan penyayang.


Sering saya sendirian di rumah ini. Beberapa waktu kemudian ada adik, atau cucu mamak ayah serta anak mamak ayah saya yg sekolah di Thawalib  dan SP dan SMA kota dingin (waktu itu masih dingin)  yang tinggal bersama saya di situ seizin Buya dan sepengetahuan Bp Sidi Ringgit tadi. 

Kadang-kadang tempat ini menjadi Posko dunsanak yang sekolah di Padang dan Bukittinggi. Mereka adalah Nahrawi. Sarjana Muda , B.A. Olahraga IKIP Padang. Kini pengusaha perkebunan karet dan sawit di Sirihsekapur. Chairuddin, Sarjana Lengkap , Drs IAIN IB, Pensiunan Kemenag Musra Bungo. Soufi, Sarjana Muda, B.A. PAI IAIN IB,  pengusaha perkebunan karet di Sirihsekapur. Yuslim, Sarjana Hukum UNJA, Pensiunan Dinas Pendapatan dan Keuangan Prov Jsmbi.  Rasman, Mantan DPRD Kab Bungo. Zaki, Pengusaha Tambang Batu Bara dan Kebun Karet, Bungo.Elhelwi, Mantan Anggota DPRD Bungo dan pengusaha. Adnan, Sarjana Muda Keuangan dan Perbankan, wafat sekitar 30 th lalu,  sewaktu bekerja di PT Pembangunan Jaya Jakarta.  Shabirin, pengusaha perkebunan dì Rantau Ikil, wafat sekitar 20 th lalu. Dua nama belakangan  hijrah kuliah. Shabirin ke Medan dan Adnan setelah Medan pindah ke Jakarta. 

Selain itu, rumah ini juga menjadi Posko bersama teman-teman laki-laki dari SP. Yang sering bertandang, resminya belajar bersama tetapi kenyataannya "bagadang dan maota" sampai subuh  ke Surau.  Di antaranya Noviar, pensiunan Pemda Sumbar. Rusdi, pensiunan guru di Jakarta. Asaad mantan DPRD Bungo, aktivis LSM dan wafat sekitar 10 th lalu dan Suhardi serta Sumarman. Dua nama belakangan belum terlacak. 

Saya pun sering nginap di Panyalaian rumah orang tua Buya dan di Singkarak rumah ortu Noviar dan Selayo, rumah Ortu Rusydi. Tentu tidak "bagadang sampai subuh" di situ. Konsisten jaga imej dan kelihatan taat dan baik-baik.(Bersambung)





Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pelatihan Muballigh-Muballighah dan HariMU: Meningkatkan Kompetensi Bangun Sinergi Hadapi Tantangan dan Globalisasi

Buya ZAS (1) : MASA KECIL DI KAMPUNG GALAPUNG

Shofwan Karim Obituari Buya Mirdas (4) Keluarga Quran dan Ulama