UM Sumbar dan Pemko Bukittingi serta Dinas Kebudayaan Sumbar: Seminar Nasional Usmar Ismail Pahlawan Nasional

 



Bukittingg, UM Sumbar (22/3/2021)

UM Sumbar berkolaborasi dengan Pemko Bukittingg dan Dinas Kebudayaan Sumbar menaja Seminar Nasional Usmas Ismail sebagai Pahlawan Nasional. Seminar ini berlangsung secara luring di Aula Yunahar Ilyas UM Sumbar Kampus Bukittinggo.

Secara vietual atau daring dapat disaksikan melalui link YouTube



Di dalam sambutan Rektor Dr. Riki Saputra, M.A. menyampaikan  UM Sumbar melakukan kolaborasi untuk memulai proses pencalonan Pahlawan Nasional Usmar Ismail ini di antaranya untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas Sapta Dharma UM Sumbar di dalam bidang kemasyarakatan, sosial dan kebudayaan. 

UM Sumbar setelah mempunyai kampus di 4 kota Padang, Padang Panjang, Bukittinggi dan Payakumbuh segera akan membuka kampus di Pasaman, Padang Pariaman dan Dharmasraya. Semua itu sedang dalam penyyusunan program dan proses pengajuan ke Pusat. Sementara lahan kampus di berbagai kota tadi sudah ada dan ada yang segera akan diterima lagi. 

Rektor selanjutnya mengatakan, semua upaya UM Sumbar untuk kemajuan Sumbar dan Indonesia selalu di bantu dan minta terus dibantu oleh berbagai pihak. Pemerintah, masyarakat, perorangan dan para usahawan yang sekarang,  sudah dan terus diharapkan bersama-sama membangun dan memajukan UM Sumbar.

Pada sambutannya, Wali Kota Bukittinggi H. Herman Safar, S.H.  menyambut baik kerjasama pelaksanaan   Seminar Nasional ini. Wako menambahkan, terus membantu dan mendorong UM Sumbar mencapai rencana berikutnya tentang pembangunan dan perkembangan UM Sumbar. Wako mendorong usaha UMSB untuk terus memperjuangkan tokoh Minangkabau menjadi Pahlawan Nasional, di antaranya Usmar Ismail ini. 

Pada sesi pertama, Hasril Chaniago menguraikan siapa, asal dan apa capaian Usmar Ismail. Secara geneologis, Usmar Ismail menurut Hasril berkait berkerabat dengan Dr Ahmad Muchtar, Dr. Abu Hanifah, Chirul Saleh, dan beberapa tokoh terkenal Indonesia yang berasal dari Minangkabau. 

Sementara secara geneo-intelektual, Usmar Ismail multi talenta sebagai rangkuman dari geneo-biologis tokoh kerabatnya. Usmar ahli perfileman, seniman, budayawan, sastrawan dan wartawan. Pernah menjadi Ketua PWI yang kedua.  Usmar Ismail juga menjadi berkarir di militer sebagai tentara.

Pada seminar ini menjadi Keynote Speaker Putri Usmar, Heldy Hernia Usmar Ismail.  Hadir pula putra lainnya Nureddin Ismail. Juga hadir Kepala Dinas Kebudayaan Sumbar, Dra. Gemala Ranti AA Navis, M.Si. 

Nara Sumber lain adalah Arif Malindo, seorang sutradara film Indonesia dan Direktur Sako Akademy. Dari UM Sumbar menjadi pembicara adalah Dosen FKIP Efri Yoni Baikoeni, S.S., M.A juga pegiat UM Sumbar Press dan editor serta penulis buku.

Sebagai referensi awal, berikut dapat  ditelusuri secara singkat tentang Usmar Ismail pada link wikipedia berikut.


Berkas:Usmar Ismail (1950), Peran Pemuda dalam Kebangkitan Film Indonesia, p73.jpg - Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas


Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Usmar Ismail
Usmar Ismail (1950), Peran Pemuda dalam Kebangkitan Film Indonesia, p73.jpg
Lahir20 Maret 1921
Fort de KockPantai Barat SumatraHindia Belanda
Meninggal2 Januari 1971 (umur 49)
JakartaIndonesia[1]
Tempat peristirahatanTPU Karet Bivak
KebangsaanIndonesia
AlmamaterUniversitas California, Los Angeles
PekerjaanSutradaraproduser film, penulis
Tahun aktif1950 - 1970
Suami/istriSonja Hermien Sanawi
AnakIrwan Usmar Ismail
Fadia Ayesha Ismail
Heidy Hermia Ismail
Nina Surachman
Nureddin Ismail
KerabatAbu Hanifah (kakak)

Usmar Ismail (lahir di Bukittinggi20 Maret 1921 – meninggal di Jakarta2 Januari 1971 pada umur 49 tahun) adalah seorang sutradara film, sastrawanwartawan, dan pejuang Indonesia yang berdarah Minangkabau. Ia dianggap sebagai warga Indonesia pelopor perfilman di Indonesia. Ia dikenal sebagai pelopor drama modern di Indonesia dan juga Bapak Film Indonesia.[2] Usmar meninggal dunia karena stroke.

Kehidupan awal[3][sunting | sunting sumber]

Usmar Ismail lahir sebagai anak dari Datuk Tumenggung Ismail, guru Sekolah Kedokteran di Padang, dan Siti Fatimah. Ia mempunyai seorang kakak yang juga terjun ke dunia sastra, yakni Dr. Abu Hanifah yang menggunakan nama pena, El Hakim.[2]

Usmar menempuh pendidikan di HIS Batusangkar, lalu melanjutkan ke MULO Simpang HaruPadang, dan kemudian ke AMS Yogyakarta.[2] Setamat dari AMS, ia berkuliah lalu memperoleh B.A. di bidang sinematografi dari Universitas California, Los AngelesAmerika Serikat pada tahun 1952.

Usmar sudah menunjukkan bakat sastranya sejak masih duduk di bangku SMP. Saat itu, ia bersama teman-temannya, antara lain Rosihan Anwar, ingin tampil dalam acara perayaan hari ulang tahun Putri Mahkota, Ratu Wilhelmina, di Pelabuhan Muara, Padang. Usmar ingin menyajikan suatu pertunjukan dengan penampilan yang gagah, unik, dan mengesankan. Ia bersama teman-temannya hadir di perayaan itu dengan menyewa perahu dan pakaian bajak laut. Sayang, acara yang direncanakan itu gagal karena mereka baru sampai saat matahari tenggelam dan mereka hampir pingsan karena kelelahan mengayuh perahu menuju Pelabuhan Muara. Akan tetapi, acara yang gagal itu dicatat Rosihan Anwar sebagai tanda bahwa Usmar Ismail memang berbakat menjadi sutradara, yang mempunyai daya khayal untuk menyajikan tontonan yang menarik dan mengesankan. [2]

Setelah duduk di bangku SMA, di Yogyakarta, Usmar semakin banyak terlibat dengan dunia sastra. Ia memperdalam pengetahuan dramanya dan aktif dalam kegiatan drama di sekolahnya. Ia juga mulai mengirimkan karangan-karangannya ke berbagai majalah.[2]

Karier[sunting | sunting sumber]

Bakatnya kian berkembang saat bekerja di Keimin Bunka Sidosho (Kantor Besar Pusat Kebudayaan Jepang). Di tempat itu, ia bersama Armijn Pane dan budayawan lainnya bekerja sama untuk mementaskan drama.[2]

Pada 1943, ia mendirikan dan menjadi ketua Sandiwara Penggemar "Maya" bersama El HakimRosihan AnwarCornel SimanjuntakSudjojonoH.B. Jassin, dan lain-lain.[2]

Sesudah masa proklamasi kemerdekaan, Usmar menjalani dinas militer dan aktif di dunia jurnalistik di Jakarta. Ketika Belanda kembali bersama tentara Sekutu, ia menjadi anggota TNI di Yogyakarta dengan pangkat mayor. Bersama dua rekannya, Sjamsuddin Sutan Makmur dan Rinto Alwi, mereka mendirikan surat kabar yang diberi nama Rakyat. Dalam bidang keredaksian dan kewartawanan, Usmar pernah menjadi pendiri dan redaktur Harian Patriot, redaktur majalah bulanan Arena, Yogyakarta (1948), "Gelanggang", Jakarta (1966-1967). Ia juga pernah menjadi ketua Persatuan Wartawan Indonesia (1946-1947).

Saat menjalankan profesi sebagai wartawan itulah, Usmar pernah dijebloskan ke penjara oleh Belanda karena dituduh terlibat kegiatan subversi. Saat itu ia bekerja sebagai wartawan politik di Kantor Berita Antara dan sedang meliput perundingan Belanda—RI di Jakarta. Peristiwa itu terjadi pada tahun 1948.[2]

Pada perkembangan selanjutnya, Usmar mulai menaruh minatnya yang lebih serius pada perfilman. Ia aktif sebagai pengurus lembaga yang berkaitan dengan teater dan film. Ia pernah menjadi ketua Badan Permusyawaratan Kebudayaan Yogyakarta (1946-1948), ketua Serikat Artis Sandiwara Yogyakarta (1946-1948), ketua Akademi Teater Nasional Indonesia, Jakarta (1955-1965), dan ketua Badan Musyawarah Perfilman Nasional (BMPN). BMPN mendorong pemerintah melahirkan "Pola Pembinaan Perfilman Nasional" pada tahun 1967. Ia dikenal sebagai pendiri Perusahaan Film Nasional Indonesia bersama Djamaluddin Malik dan para pengusaha film lainnya. Lalu, ia menjadi ketuanya sejak 1954 sampai 1965.[4]

Ia pernah aktif dalam bidang politik. Ia pernah menjadi ketua umum Lembaga Seniman Muslimin Indonesia (Lesbumi) (1962-1969), anggota Pengurus Besar Nahdatul Ulama (1964-1969), anggota DPRGR/MPRS (1966-1969).

Setelah sempat membantu Andjar Asmara menyutradarai Gadis Desa pada 1949, ia memulai debut penyutradaraan film lewat film Harta Karun. Ia dikenal luas secara internasional setelah menyutradarai film berjudul Pedjuang pada tahun 1961, yang mendokumentasikan kemerdekaan Indonesia dari Belanda. Film ini ditayangkan dalam Festival Film Internasional Moskwa ke-2, dan menjadi film karya anak negeri pertama yang diputar dalam festival film internasional.[5]

Di luar bidang-bidang tersebut, ia menjadi orang Indonesia pertama yang mendirikan kelab malam, yakni Miraca Sky, di puncak gedung Sarinah pada akhir tahun 1960-an. Selain itu, ia juga pernah menjadi pemimpin PT. Triple T.

Pengaruh[sunting | sunting sumber]

Ketika mempersiapkan Kafedo, Usmar memberi kesempatan dan mendidik anak muda yang berminat dalam penyutradaraan film. Melalui program inilah Nya Abbas Acup masuk ke dunia film. Ia juga dikenal sebagai pencetak bintang. Nurnaningsih dan Indriati Iskak adalah dua contoh orang yang kariernya dilejitkannya.

Darah dan Doa dianggap sebagai film nasional pertama di Indonesia.

Tanggapan Publik[6][sunting | sunting sumber]

Kritikus film menganggap karya-karyanya, seperti Enam Djam di Jogja dan Dosa Tak Berampun, mengandung ciri Indonesiawi.

Pada masa penayangannya di Metropole Krisis menarik penonton berjubel selama lima minggu.

Anak Perawan di Sarang Penyamun sempat diboikot peredarannya pada tahun 1962 oleh Partai Komunis Indonesia.[7]

Penghargaan[sunting | sunting sumber]

Tahun 1962 ia mendapatkan Piagam Wijayakusuma dari Presiden Soekarno. Pada tahun 1969 ia menerima Anugerah Seni dari Pemerintah RI. Setelah meninggal dia diangkat menjadi Warga Teladan DKI. Namanya diabadikan sebagai pusat perfilman Jakarta, yakni Pusat Perfilman H. Usmar Ismail.[8] Selain itu, sebuah ruang konser di Jakarta, yakni Usmar Ismail Hall, merupakan tempat pertunjukan operamusik, dan teater, yang dinamai sesuai namanya.[9]

Kerjasama gagal dan meninggal[sunting | sunting sumber]

Pada tahun 1970, Usmar Ismail yang menjabat sebagai direktur Perfini, mengadakan kerja sama dengan perusahaan Italia untuk memproduksi film Adventures in Bali. Namun, proses dan pasca-produksi film ini bermasalah.[10] Rosihan Anwar mengatakan, dalam perjanjian awalnya, nama Usmar sebagai sutradara akan dicantumkan dalam versi film ini yang diedarkan di Eropa. Namun, ketika Usmar berkunjung ke Roma melihat penyelesaian film itu, namanya sama sekali tidak disebut. Menurut Rosihan, Usmar ditipu oleh produser Italia.[10] Filmnya tetap dirilis dengan judul Bali pada 1971, namun kurang laku di pasaran.[10]

Di tengah kesulitan, Usmar tetap berjuang mempertahankan Perfini dan menggaji karyawannya. Namun, tak lama kemudian Usmar jatuh sakit di rumahnya akibat pendarahan otak. Usmar Ismail meninggal pada tanggal 2 Januari 1971 di Jakarta. Ia dimakamkan di TPU Karet Bivak, Jakarta.[11]

Karya Tulis[12][sunting | sunting sumber]

Drama[sunting | sunting sumber]

  • Mutiara dari Nusa Laut (1943)
  • Mekar Melati (1945)
  • Sedih dan Gembira (1950)

Kumpulan Puisi[sunting | sunting sumber]

  • Puntung Berasap (1950)

Karya lainnya[sunting | sunting sumber]

  • Pengantar ke Dunia Film
  • Usmar Ismail Membawa Film (editor J.E. Siahaan) (1983)

Filmografi[sunting | sunting sumber]

Referensi[sunting | sunting sumber]

Pranala luar[sunting | sunting sumber]


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pelatihan Muballigh-Muballighah dan HariMU: Meningkatkan Kompetensi Bangun Sinergi Hadapi Tantangan dan Globalisasi

Buya ZAS (1) : MASA KECIL DI KAMPUNG GALAPUNG

Shofwan Karim Obituari Buya Mirdas (4) Keluarga Quran dan Ulama