Edisi Khusus XX KajiJumPaMu, 18.12.2020, Bedah dan Luncur Buku Shofwan Karim: Islam sebagai Dasar Negara dan Melukis di Atas Awan


Edisi Khusus XX KajiJumPaMu, 18.12.2020, 

Bedah dan Luncur Buku Shofwan Karim: Islam sebagai Dasar Negara dan Melukis di Atas Awan

Padang, Jumat (18 Desember 2020).

Pengkajian Islam Jumat Pagi Muhammadiyah (KajiJumPaMU) edisi khusus XX telah berlangsung secara daring Webinar Zoom's Jumat, 18/12/2020. Kali ini agenda khusus  peluncuran dan bedah buku Dr.  Drs. Shofwan Karim, B.A., M.A., Ketua PWM Sumbar.

Ada 2 buku yang dibedah dan diluncurkan. Buku I "Islam sebagai Dasar Negara, Polemik Natsir Versus Soekarno" dan  Buku II, "Memoar Biografi 68 Th Shofwan Karim, Melukis di Atas Awan". Para pembedah buku dan pemberi testimoni terdiri atas berbagai kalangan. Tokoh nasional, akademisi luar dan dalam negeri. Pelaku dunia industri dan ekonomi nasional. Ulama dan Dosen.

Mereka atara lain,  dalam negeri H. Irman Gusman, S.E., M.B.A., Ketua DPD RI 2009-2014-2016. Prof. Dr. H. Sir Azyumardi Azra, C.B.E., M.Phil., M.A., Rektor IAIN dan UIN Jakarta 1998-2006, Direktur Pascasajana UNI Jakarta 2006-2010. Deputi Kesra  Kantor Wapres RI 2014-2019. H. Basril Djabar, Pemimpin Umum Harian Singgalang dan Tokoh Pers Nasional. Prof. dr. H. Fasli Jalal, Sp.GK., Ph.D.  Sekarang Rektor Universitas  Yarsi Jakarta dan Wamendikbud RI 2010-2011 . 

Ada Ulama, Buya H. Masud Abidin. Dosen UMSB Didi Rahmadi, S.Sos., M.A.  Founder & CEO PT Paragon Technology and Innovation dan Wardah Foundation,Dr. (HC) Hj. Nurhayati Subakat, Apt. Dari  Luar Negeri Prof. Dr. Abdullah Fidaus (UKM, Malaysia). Prof. Dr. Gamal Abdul Nasir Zakaria, M.A. (University Berunai Darussalam). Hadir Prof. Dr. Ismet Fanany, Deakin Unversity Melbourne dari Australia. 

Ada Prof. Dr. Maizar Rahman dan Prof. Dr. Zoeraini Djamal dari Jakarta. Dari Padang ada Prof. Dr. H. Werry Darta Taifur, S.E., M.A. Rektor Unand 2011-2015 yang kini adalah Komisaris PT Semen Padang. Ketua MUI Padang dan DKMI Sumbar Prof. Dr. Duski Samad, M.A.

Hadir sebagai participant di  Virtual Zoom's ini 108 orang terdiri atas PWM, PWA, Ortom, PDM, AMM, akademisi, cendekiawan,  tokoh masyarakat, wartawan  dan peminat buku serta pencinta ilmu dan pegiat Muhammadiyah serta ormas lainnya. 

Kedua buku itu sebagai yang disampaikan Rektor UMSB Dr. Riki Saputra, M.A merupakan produk UMSB Press yang baru saja lahir akhir tahun 2019 dan memasuki 2020. UMSB Press  diketuai oleh Vini Wela Septiana, M.Pd. Rektor menyebut bahwa UMSB Press merupakan kebanggaan UMSB yang sudah menggerakkan dunia penerbitan buku dan literasi. Buku ini diramu dengan apik oleh editor UMSB Press Efri Yoni Baikoeni, S.S., M.A. 

Selanjutnya pada bagian berikut dapat diikuti siaran YouTube dan ulasan media pers. (Admin)






Irman Ajak Berpolitik dengan Hati, Petik Keteladanan Natsir-Soekarno

Universitas Muhammadiyah Sumatera Barat (UMSB) meluncurkan sekaligus membedah dua buku sekaligus secara virtual, Jumat (18/12/2020). Buku Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Sumbar Shofwan itu, berjudul “Islam Sebagai Dasar Negara: Polemik Antara Mohammad Natsir versus Soekarno” dan “68 Tahun Melukis di Atas Awan, Memoar Biografi Dr. Shofwan Karim”.

Ketua DPD RI 2009-2016, Irman Gusman yang diundang sebagai pembicara dalam kegiatan itu mengungkapkan bahwa Shofwan Karim merupakan sahabat dekat yang sudah dikenalnya lebih dari 25 tahun.

“Bahkan persahabatan saya dengan Buya Shofwan Karim ini boleh dibilang sangat spesial, sepert ungkapan pepatah Inggris, A friend in need is a friend indeed. Sahabat yang datang ketika kita membutuhkan pertolongan adalah sahabat sejati,” ungkap Irman.

Sahabat di kala senang maupun susah. Ketika Irman berada dalam masalah di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas)  Sukamiskin Bandung, Shofwan berulang kali mengunjunginya. Bahkan Shofwan juga orang yang berdiri di depan pintu pada malam 26 September 2019, ketika Irman melangkah keluar dari pintu utama Lapas Sukamiskin untuk pulang ke rumah.

Menurut Irman, Shofwan Karim merupakan sosok yang kaya pengalaman dan sepak terjangnya sudah tingkat nasional. Bangsa ini butuh sumbangsih pemikirannya.

“Karena saya cukup lama mengenal Buya Shofwan dari dekat, maka secara jujur dan obyektif saya mau katakan bahwa Sumatera Barat sudah terlalu sempit untuk Buya Shofwan Karim. Sudah saatnya Buya Shofwan bergeser ke Jakarta dan berkiprah dari sana mengingat pengalaman, kematangan, kepemimpinan dan kearifan beliau yang dibutuhkan di tingkat nasional,” jelas Irman.

Usia Shofwan yang kini menginjak 68 tahun menurut Irman belumlah tua, mengutip standard terbaru yang dikeluarkan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). “Justru usia 68 tahun itu adalah usia terbang; karena itulah Buya Shofwan Melukis di Atas Awan,” tambahnya.

Cover buku 68 Tahun Melukis di Atas Awan, Memoar Biografi Dr. Shofwan Karim.

Irman menegaskan bahwa hubungan persahabatan itu abadi, tanpa syarat. “Friendship is unconditionally eternal. Persahabatan itu abadi tanpa syarat,” kata tokoh nasional asal Sumbar ini.

Pandangan dan pilihan politik boleh saja berbeda, tapi persahabatan tetap abadi. Hal itu juga tergambar dan teladan yang bisa dipetik dalam persahabatan Natsir dan Bung Karno. Mereka selalu berseberangan tetapi tetap bersahabat.

Dijelaskannya bahwa Soekarno sebagai seorang ideolog dan pemikir politik berpandangan bahwa agama harus dipisahkan dari urusan negara. Sementara Natsir sebagai seorang ideolog reformis muslim dan arsitek “negara Islam moderat” berpandangan bahwa Islam sebagai agama peradaban yang membimbing manusia memasuki alam modern harus disatukan dengan negara.

“Bung Karno tidak mau membawa agama di dalam perjuangannya. Ia menganggap cukup dengan nasionalisme saja, karena kalau membawa-bawa agama maka bangsa ini akan bercerai-berai. Tapi Natsir berpendapat bahwa untuk mencapai kemerdekaan, tidak cukup hanya dengan nasionalisme. Dorongan agama Islam, jauh lebih kuat. Mereka berseberangan secara tajam seperti itu,” jelas Irman.

Meski demikian, ketika Soekarno ditangkap, diadili, dan dipenjarakan di Sukamiskin, yang pertama kali menjenguk Bung Karno di penjara itu adalah bukan orang-orang PNI pendukung Bung Karno, melainkan kelompok Natsir yang justru tidak sepaham dengan Bung Karno.

“Ini pelajaran keteladanan yang sangat berharga buat bangsa kita agar bisa berpolitik dengan hati secara matang dan bijaksana. Sebab, di zaman sekarang, terlalu banyak pemimpin tapi terlalu sedikit kepemimpinan. Terlalu banyak politisi, tapi terlalu sedikit negarawan. Terlalu banyak idola, tapi terlalu sedikit keteladanan. Terlalu banyak pembawa masalah, tapi terlalu sedikit pembawa solusi. Terlalu banyak menggunakan otak dan otot, tapi terlalu sedikit bahkan sangat jarang kita menggunakan hati,” beber suami dari Liestyana Rizal Gusman itu

Akibat dari kondisi tersebut, Irman mengibaratkan seperti hidup di bawah SUTET, Saluran Udara Tagangan Ekstra Tinggi. Semua orang tegang. Saling curiga dan berprasangka buruk. Saling hujat dan caci-maki. Berbeda pendapat dianggap sebagai permusuhan dan peperangan.

“Kenapa bisa terjadi begini? Karena kita tidak belajar dari sejarah. Coba tengok ke belakang. Meskipun Natsir dan Soekarno berseberangan secara pemikiran dan sikap politik, tapi terdapat kesamaan keyakinan di antara mereka dalam hal demokrasi.

Natsir menyatakan bahwa Islam adalah ajaran yang paling demokratis. Soekarno pun berkeyakinan bahwa umat Islam dapat memperjuangkan aspirasinya secara optimal dalam suatu negara yang demokratis,” tambah Irman.

Cover buku “Islam sebagai Dasar Negara, Polemik Antara Mohammad Natsir versus Soekarno”.

Hal lainnya yang dinilai Irman luar biasa dari hubungan dua tokoh besar ini, adalah bahwa Soekarno mengagumi Natsir sebagai sosok pendidik generasi muda Islam yang karya tulisnya, sebuah buku berjudul “Komt Tot Het Gebed” (artinya Marilah Shalat), itu dikagumi oleh Soekarno. Sebaliknya, meskipun berseberangan dengan Soekarno, tapi Natsir pernah berkata, “Kami tidak pernah bentrok. Perbedaan ide memang menyebabkan kami berpisah, tapi hubungan kami tetap dekat.”

Dari polemik dua tokoh bangsa tersebut, Irman juga memetik pelajaran lainnya. Yakni, meskipun mereka berdebat tentang hubungan agama dan negara dan tentang dasar negara, tapi mereka akhirnya bersepakat untuk tidak menghapus Pancasila sebagai dasar negara; mereka melestarikannya meskipun Natsir mendirikan Masyumi yang menjadi partai Islam terkuat dalam Pemilu 1955, dengan menguasai 20,9 persen suara dan menang di 10 dari 15 daerah pemilihan.

“Sebab tujuan perjuangan Natsir sebetulnya adalah agar nilai-nilai keislaman tidak lantas dilunturkan oleh sekularisme yang sedang merembes ke dalam berbagai sendi kehidupan berbangsa dan bernegara. Itulah sebabnya maka Natsir sangat peduli dan berperan aktif dalam pendidikan keagamaan bagi generasi muda,” tukas Irman.

Dari sejarah itu perlu dicatat bahwa apa yang diperjuangkan Natsir itu, menurut Irman masih relevan sampai hari ini, di mana sekularisme yang semakin kental mengancam dan mengikis keberagamaan kita, khususnya di kalangan generasi muda.

“Dalam hal ini perjuangan Natsir untuk memanifestasikan nilai-nilai ajaran Islam itu perlu kita lanjutkan, sama seperti melanjutkan perjuangan Soekarno dalam melestarikan Pancasila,” tegasnya.

Catatan lain tentang perjuangan Natsir adalah bahwa keberagamaan kita perlu tampak dalam realitas sehari-hari, bukan sekadar identitas belaka. Bahkan dalam mengamalkan Pancasila, bagaimana sila Ketuhanan, Kemanusiaan dan Keadilan Sosial, misalnya, bisa diterjemahkan ke dalam realitas kehidupan sehari-hari.

“Jadi, kalau saya mencoba merekonsiliasikan pemikiran Natsir dan pemikiran Soekarno, dua kutub yang bertolak belakang itu, maka yang mau saya katakan adalah, kita harus bisa berpancasila sereligius mungkin dan beragama sepancasilais mungkin. Artinya,  mengamalkan agama di negara yang berdasarkan Pancasila dan mengamalkan Pancasila di negara yang penduduknya menjunjung tinggi ajaran agama,” tuturnya.

Sebagai anak bangsa, kata Irman tugas kita bukan mempersoalkan Pancasila sebagai dasar negara, atau memperjuangkan Islam sebagai dasar negara.

“Hal itu sudah final. Sebab Pancasila sudah mewakili nilai-nilai luhur dari semua agama di negeri ini bahkan mewakili jatidiri bangsa kita. Tugas kita adalah melakukan introspeksi, sudah sampai sejauh mana kita mengamalkan lima sila itu di dalam realitas kehidupan kita sebagai bangsa, kemudian melakukan koreksi dengan menggunakan ajaran agama dan falsafah Pancasila sebagai pedoman,” imbaunya.

Dalam peluncuran dan bedah buku yang dimulai pengantar dari editor buku Efri Yoni Baikoeni, SS, MA, itu juga hadir pembicara lain, di antaranya Guru Besar UIN Hidayatullah Prof Azyumardi Azra, Rektor Universitas Yarsi Prof Fasli Jalal, Ulama Sumbar Masoed Abidin, para dosen dan sivitas akademika UMSB.(esg)




Masalah Kebangsaan, Irman Gusman: Kita Perlu Mengubah Polemik Menjadi Sinergi

PADANG, forumsumbar —Ketua DPD RI periode 2009-2014 dan 2014-2016, Irman Gusman hadir dalam acara peluncuran dan bedah buku yang diselenggarakan oleh Universitas Muhammadiyah Sumatera Barat (UMSB) Press, Jumat (18/12), bersama tokoh-tokoh Sumbar lainnya, baik di tingkat nasional maupun daerah.

Dalam acara yang dilaksanakan secara virtual, melalui Zoom Meeting ini, ada 2 buku yang diluncurkan dan dibedah; yakni “Islam sebagai Dasar Negara, Polemik Natsir versus Soekarno” dan “68 Tahun Melukis di Atas Awan”.

Adapun turut hadir selain Irman Gusman, Prof Fasli Jalal (Mantan Wamendiknas, sekarang Rektor Universitas Yarsi Jakarta), Prof Azyumardi Azra (Mantan Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta), Gamal Abdul Nasser (Dosen Senior Universitas Brunei Darussalam), Basril Djabar (Tokoh Pers Nasional), dan Nurhayati Subakat (CEO Wardah).

Kemudian, Buya Masoed Abidin (Mubaligh dan Pegiat Dakwah Digital), Shofwan Karim Elhussein (Ketua PWM Sumbar), Riki Saputra (Rektor UMSB) dan banyak lainnya. Adapun acara bertajuk “Kajian Islam Jumat Pagi” ini dimoderatori Efri Yoni Baikoeni, yang juga merupakan editor dari buku yang diluncurkan.

Melalui pesan WhatsApp-nya, Irman Gusman mengirimkan bulir-bulir pemikirannya dalam membedah kedua isi buku yang diluncurkan itu kepada forumsumbar.com. Adapun lengkapnya sebagai berikut ;

 

Leaflet webinar peluncuran dan bedah buku UMSB Press. (Foto : Dok)

Pointers Presentasi Irman Gusman

Ini acara yang langka karena UMSB melakukan peluncuran dan bedah buku untuk dua buku sekaligus. Biasanya acara peluncuran buku dimana-mana itu meluncurkan satu judul buku. Tapi pagi ini acara UMSB ini membahas dua buku sekaligus:
1. Islam Sebagai Dasar Negara: Polemik Antara Mohammad Natsir versus Soekarno dan
2. 68 Tahun Melukis di Atas Awan, Memoir Biografi Dr. Shofwan Karim, tokoh Muhammadiyah yang sudah saya kenal dekat selama lebih dari 25 tahun.

Bahkan persahabatan saya dengan Buya Shofwan Karim ini boleh dibilang sangat spesial karena pepatah Inggris katakan, A friend in need is a friend indeed. Sahabat yang datang ketika kita membutuhkan pertolongan adalah sahabat sejati.

Ketika saya berada dalam masalah di Sukamiskin Bandung, berulang kali Buya Shofwan Karim mengunjungi saya. Bahkan Buya Shofwan berdiri di depan pintu pada malam itu, 26 September 2019, ketika saya melangkah keluar dari pintu utama Lapas Sukamiskin untuk pulang ke rumah.

Karena saya cukup lama mengenal Buya Shofwan dari dekat, maka secara jujur dan obyektif saya mau katakan bahwa Sumatera Barat sudah terlalu sempit untuk Buya Shofwan Karim. Sudah saatnya Buya Shofwan bergeser ke Jakarta dan berkiprah dari sana mengingat pengalaman, kematangan, kepemimpinan dan kearifan beliau yang dibutuhkan di tingkat nasional.

Saya tidak tahu apakah karena itu maka bukunya sengaja diberi judul Melukis di Atas Awan. Jadi orang Minang biasanya bilang, Dimana bumi di pijak di situ langit dijunjuang. Tapi tempat berpijak Buya kita ini sudah tinggi sekali di langit, karena dia Melukis di Atas Awan. Itulah sebabnya tadi saya katakan sudah saatnya Buya Shofwan bergeser ke Jakarta.

Dan 68 Tahun itu belumlah tua, menurut standar terbaru yang dikeluarkan oleh Organisasi Kesehatan Dunia /WHO. Justru usia 68 tahun itu adalah usia terbang; karena itulah Buya Shofwan Melukis di Atas Awan.

Sebagai sahabat, saya perlu berkata demikian. Sebab yang mau saya katakan adalah, friendship is unconditionally eternal. Persahabatan itu abadi tanpa syarat.

Pandangan dan pilihan politik boleh saja berbeda, tetapi persahabatan itu abadi sifatnya. Inilah juga yang diteladankan oleh Natsir dan Bung Karno. Mereka selalu berseberangan tetapi tetap bersahabat.

Soekarno sebagai seorang ideolog dan pemikir politik berpandangan bahwa agama harus dipisahkan dari urusan negara. Sementara Natsir sebagai seorang ideolog reformis muslim dan arsitek “negara Islam moderat” berpandangan bahwa Islam sebagai agama peradaban yang membimbing manusia memasuki alam modern harus disatukan dengan negara.

Bung Karno tidak mau membawa agama di dalam perjuangannya. Ia menganggap cukup dengan nasionalisme saja, karena kalau membawa-bawa agama maka bangsa ini akan bercerai-berai. Tapi Natsir berpendapat bahwa untuk mencapai kemerdekaan, tidak cukup hanya dengan nasionalisme. Dorongan agama Islam, jauh lebih kuat. Mereka berseberangan secara tajam seperti itu.

Meskipun demikian, ketika Soekarno ditangkap, diadili, dan dipenjarakan di Sukamiskin, yang pertama kali menjenguk Bung Karno di penjara itu adalah bukan orang-orang PNI pendukung Bung Karno, melainkan kelompok Natsir yang justru tidak sepaham dengan Bung Karno. Ini pelajaran keteladanan yang sangat berharga buat bangsa kita agar bisa berpolitik dengan hati secara matang dan bijaksana.

Sebab di zaman sekarang, terlalu banyak pemimpin tapi terlalu sedikit kepemimpinan. Terlalu banyak politisi, tapi terlalu sedikit negarawan. Terlalu banyak idola, tapi terlalu sedikit keteladanan. Terlalu banyak pembawa masalah, tapi terlalu sedikit pembawa solusi. Terlalu banyak menggunakan otak dan otot, tapi terlalu sedikit bahkan sangat jarang kita menggunakan hati.

Akibatnya kita seperti hidup di bawah SUTET, Saluran Udara Tegangan Ekstra Tinggi. Semua orang tegang. Saling curiga dan berprasangka buruk. Saling hujat dan caci-maki. Berbeda pendapat dianggap sebagai permusuhan dan peperangan.

Kenapa bisa terjadi begini? Karena kita tidak belajar dari sejarah. Coba tengok ke belakang. Meskipun Natsir dan Soekarno berseberangan secara pemikiran dan sikap politik, tetapi terdapat kesamaan keyakinan di antara mereka dalam hal demokrasi.
Natsir menyatakan bahwa Islam adalah ajaran yang paling demokratis. Soekarno pun berkeyakinan bahwa umat Islam dapat memperjuangkan aspirasinya secara optimal dalam suatu negara yang demokratis.

Yang luar biasa dari hubungan dua tokoh besar ini adalah bahwa Soekarno mengagumi Natsir sebagai sosok pendidik generasi muda Islam yang karya tulisnya, sebuah buku berjudul Komt Tot Het Gebed (artinya Marilah Salat), itu dikagumi oleh Soekarno. Sebaliknya, meskipun berseberangan dengan Soekarno, tapi Natsir pernah berkata, “Kami tidak pernah bentrok. Perbedaan ide memang menyebabkan kami berpisah, tapi hubungan kami tetap dekat.”

Dari polemik dua tokoh bangsa ini kita juga dapat memetik pelajaran lain lagi. Bahwa meskipun mereka berdebat tentang hubungan agama dan negara dan tentang dasar negara kita, mereka akhirnya bersepakat untuk tidak menghapus Pancasila sebagai dasar negara; mereka melestarikannya meskipun Natsir mendirikan Masyumi yang menjadi partai Islam terkuat dalam Pemilu 1955, dengan menguasai 20,9 persen suara dan menang di 10 dari 15 daerah pemilihan.

Sebab tujuan perjuangan Natsir sebetulnya adalah agar nilai-nilai keislaman tidak lantas dilunturkan oleh sekularisme yang sedang merembes ke dalam berbagai sendi kehidupan berbangsa dan bernegara. Itulah sebabnya maka Natsir sangat peduli dan berperan aktif dalam pendidikan keagamaan bagi generasi muda.

Tapi perlu kita catat bahwa apa yang duperjuangkan Natsir itu masih relevan sampai hari ini, dimana sekularisme yang semakin kental itu mengancam dan mengikis keberagamaan kita, khususnya di kalangan generasi muda. Dalam hal ini perjuangan Natsir untuk memanifestasikan nilai-nilai ajaran Islam itu perlu kita lanjutkan, sama seperti melanjutkan perjuangan Soekarno dalam melestarikan Pancasila.

Catatan lain tentang perjuangan Natsir adalah bahwa keberagamaan kita perlu tampak dalam realitas sehari-hari, bukan sekadar identitas belaka. Bahkan dalam mengamalkan Pancasila, bagaimana sila Ketuhanan, Kemanusiaan dan Keadilan Sosial, misalnya, bisa diterjemahkan ke dalam realitas kehidupan sehari-hari.

Jadi, kalau saya mencoba merekonsiliasikan pemikiran Natsir dan pemikiran Soekarno — dua kutub yang bertolak belakang itu — maka yang mau saya katakan adalah: Kita harus bisa berpancasila sereligius mungkin dan beragama sepancasilais mungkin. Artinya: Mengamalkan agama di negara yang berdasarkan Pancasila dan mengamalkan Pancasila di negara yang penduduknya menjunjung tinggi ajaran agama.

Jadi, tugas kita bukan mempersoalkan Pancasila sebagai dasar negara, atau memperjuangkan Islam sebagai dasar negara. Hal itu sudah FINAL. Sebab Pancasila sudah mewakili nilai-nilai luhur dari semua agama di negeri ini bahkan mewakili jatidiri bangsa kita. Tugas kita adalah melakukan introspeksi, sudah sampai sejauh mana kita mengamalkan lima sila itu di dalam realitas kehidupan kita sebagai bangsa; kemudian melakukan koreksi dengan menggunakan ajaran agama dan falsafah Pancasila sebagai pedoman.

Dengan begitu maka POLEMIK antara Natsir dan Soekarno dapat kita rekonsiliasikan menjadi SINERGI antara nilai-nilai agama dan nila-nilai kebangsaan kita yang terkandung di dalam Pancasila. Jadi, intinya, kita perlu mengubah POLEMIK menjadi SINERGI.

Demikian pesan singkat dari saya…

Jakarta, 18 Desember 2020

IRMAN GUSMAN

Itulah pemikiran yang disampaikan Irman Gusman pada webinar yang diadakan oleh UMSB Press, dalam peluncuran dan bedah buku yang membahas masalah agama dan kebangsaan.

(Ika)




Beda Pendapat Dianggap Musuh, Irman Gusman: Kita Seperti Hidup Dibawah SUTET

Mantan Ketua DPD RI, Irman Gusman.

BERITABUANA.CO, JAKARTA – Mantan Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI, Irman Gusman mengatakan, pandangan dan pilihan politik boleh saja berbeda, tetapi persahabatan itu abadi sifatnya. Inilah yang diteladankan oleh Natsir dan Bung Karno, meski selalu beberangan tetapi tetap bersahabat.

“Soekarno sebagai seorang ideolog dan pemikir politik berpandangan bahwa agama harus dipisahkan dari urusan negara. Bung Karno mengkhawatirkan kalau membawa-bawa agama maka bangsa ini akan bercerai-berai,” kata Irman Gusman yang hadir secara virtual pada acara bedah buku “Islam Sebagai Dasar Negara: Polemik Antara Mohammad Natsir versus Soekarno” dan “68 Tahun Melukis di Atas Awan, Memoar Biografi Dr. Shofwan Karim,” Jumat (18/12/2020).

Sementara Natsir, lanjut dia, sebagai seorang ideolog reformis muslim dan arsitek “negara Islam moderat” berpandangan bahwa Islam sebagai agama peradaban yang membimbing manusia memasuki alam modern harus disatukan dengan negara. Untuk mencapai kemerdekaan, tidak cukup hanya dengan nasionalisme karena dorongan agama Islam, jauh lebih kuat.

“Mereka berseberangan secara tajam. Meski demikian ketika Soekarno ditangkap, diadili, dan dipenjarakan di Sukamiskin, yang pertama menjenguk bukan orang-orang PNI pendukung Bung Karno, melainkan kelompok Natsir. Ini pelajaran keteladanan yang sangat berharga buat bangsa kita agar bisa berpolitik dengan hati secara matang dan bijaksana,” kata Irman.

Berbeda dengan kondisi sekarang, yang menurut dia, terlalu banyak pemimpin tapi terlalu sedikit kepemimpinan. Terlalu banyak politisi, tapi terlalu sedikit negarawan. Terlalu banyak idola, tapi terlalu sedikit keteladanan. Terlalu banyak pembawa masalah, tapi terlalu sedikit pembawa solusi. Terlalu banyak menggunakan otak dan otot, tapi terlalu sedikit bahkan sangat jarang menggunakan hati.

“Akibatnya kita seperti hidup di bawah SUTET (Saluran Udara Tagangan Ekstra Tinggi). Semua orang tegang. Saling curiga dan berprasangka buruk. Saling hujat dan caci-maki. Berbeda pendapat dianggap sebagai permusuhan dan peperangan,” kata Irman.

Kenapa bisa terjadi begini? Karena menurut Irman, bangsa ini tidak belajar dari sejarah dan menengok ke belakang. Seperti sikap Natsir dan Soekarno yang berseberangan secara pemikiran dan sikap politik, tetapi terdapat kesamaan keyakinan di antara mereka dalam hal demokrasi.

“Dari polemik dua tokoh bangsa ini kita dapat memetik pelajaran, meski mereka berdebat tentang hubungan agama dan negara dan tentang dasar negara kita, mereka akhirnya bersepakat untuk tidak menghapus Pancasila sebagai dasar negara,” tambahnya.

Oleh karena itu, Irman beroendapat bahwa apa yang diperjuangkan Natsir masih relevan sampai hari ini, dimana sekularisme yang semakin kental mengancam dan mengikis keberagamaan, khususnya di kalangan generasi muda. Dalam hal ini perjuangan Natsir untuk memanifestasikan nilai-nilai ajaran Islam itu perlu kita lanjutkan, sama seperti melanjutkan perjuangan Soekarno dalam melestarikan Pancasila.

Catatan lain disampaikan Irman tentang perjuangan Natsir adalah bahwa keberagamaan perlu tampak dalam realitas sehari-hari, bukan sekadar identitas belaka. Bahkan dalam mengamalkan Pancasila, misalnya sila Ketuhanan, Kemanusiaan dan Keadilan Sosial bisa diterjemahkan ke dalam realitas kehidupan sehari-hari.

“Kalau saya mencoba merekonsiliasikan pemikiran Natsir dan Soekarno adalah dua kutub yang bertolak belakang itu, maka yang mau saya katakan adalah kita harus bisa berpancasila sereligius mungkin dan beragama sepancasilais mungkin.
Artinya mengamalkan agama di negara yang berdasarkan Pancasila dan mengamalkan Pancasila di negara yang penduduknya menjunjung tinggi ajaran agama,” kata Irman.

Jadi, lanjut Irman bukan mempersoalkan Pancasila sebagai dasar negara, atau memperjuangkan Islam sebagai dasar negara karena itu sudah final. Sebab Pancasila sudah mewakili nilai-nilai luhur dari semua agama di negeri ini bahkan mewakili jatidiri bangsa Indonesia.

“Tugas kita adalah melakukan introspeksi, sudah sampai sejauh mana kita mengamalkan lima sila itu di dalam realitas kehidupan kita sebagai bangsa, kemudian melakukan koreksi dengan menggunakan ajaran agama dan falsafah Pancasila sebagai pedoman,” tutup Irman Gusman. (Kds)


Irman: Natsir dan Bung Karno Tetap Bersahabat Meski Berseberangan - Portal Berita Singgalang (hariansinggalang.co.id)

Irman: Natsir dan Bung Karno Tetap Bersahabat Meski Berseberangan

JAKARTA – Pandangan dan pilihan politik boleh saja berbeda, tetapi persahabatan itu abadi sifatnya. Inilah yang diteladankan oleh Natsir dan Bung Karno.

“Mereka selalu berseberangan tetapi tetap bersahabat,” kata mantan Ketua DPD RI Irman Gusman yang hadir secara virtual pada acara bedah buku “Islam Sebagai Dasar Negara: Polemik Antara Mohammad Natsir versus Soekarno” dan “68 Tahun Melukis di Atas Awan, Memoar Biografi Dr. Shofwan Karim,” Jumat (18/12).

Soekarno sebagai seorang ideolog dan pemikir politik berpandangan bahwa agama harus dipisahkan dari urusan negara. Bung Karno mengkhawatirkan kalau membawa-bawa agama maka bangsa ini akan bercerai-berai.

Sementara Natsir sebagai seorang ideolog reformis muslim dan arsitek “negara Islam moderat” berpandangan bahwa Islam sebagai agama peradaban yang membimbing manusia memasuki alam modern harus disatukan dengan negara. Untuk mencapai kemerdekaan, tidak cukup hanya dengan nasionalisme. Dorongan agama Islam, jauh lebih kuat.

“Mereka berseberangan secara tajam. Meski demikian ketika Soekarno ditangkap, diadili, dan dipenjarakan di Sukamiskin, yang pertama menjenguk bukan orang-orang PNI pendukung Bung Karno, melainkan kelompok Natsir. Ini pelajaran keteladanan yang sangat berharga buat bangsa kita agar bisa berpolitik dengan hati secara matang dan bijaksana,” kata Irman.

Menurutnya, berbeda dengan kondisi sekarang, terlalu banyak pemimpin tapi terlalu sedikit kepemimpinan. Terlalu banyak politisi, tapi terlalu sedikit negarawan. Terlalu banyak idola, tapi terlalu sedikit keteladanan. Terlalu banyak pembawa masalah, tapi terlalu sedikit pembawa solusi. Terlalu banyak menggunakan otak dan otot, tapi terlalu sedikit bahkan sangat jarang menggunakan hati.

“Akibatnya kita seperti hidup di bawah SUTET (Saluran Udara Tagangan Ekstra Tinggi). Semua orang tegang. Saling curiga dan berprasangka buruk. Saling hujat dan caci-maki. Berbeda pendapat dianggap sebagai permusuhan dan peperangan,” kata Irman.

Kenapa bisa terjadi begini? Karena menurut Irman, bangsa ini tidak belajar dari sejarah dan menengok ke belakang. Seperti sikap Natsir dan Soekarno yang berseberangan secara pemikiran dan sikap politik, tetapi terdapat kesamaan keyakinan di antara mereka dalam hal demokrasi.

“Dari polemik dua tokoh bangsa ini kita dapat memetik pelajaran, meski mereka berdebat tentang hubungan agama dan negara dan tentang dasar negara kita, mereka akhirnya bersepakat untuk tidak menghapus Pancasila sebagai dasar negara,” kata Irman.

Masih Relevan

Menurut Irman, apa yang diperjuangkan Natsir masih relevan sampai hari ini, dimana sekularisme yang semakin kental mengancam dan mengikis keberagamaan, khususnya di kalangan generasi muda.

“Dalam hal ini perjuangan Natsir untuk memanifestasikan nilai-nilai ajaran Islam itu perlu kita lanjutkan, sama seperti melanjutkan perjuangan Soekarno dalam melestarikan Pancasila,” jelasnya.

Catatan lain disampaikan Irman tentang perjuangan Natsir adalah bahwa keberagamaan perlu tampak dalam realitas sehari-hari, bukan sekadar identitas belaka. Bahkan dalam mengamalkan Pancasila, misalnya sila Ketuhanan, Kemanusiaan dan Keadilan Sosial bisa diterjemahkan ke dalam realitas kehidupan sehari-hari.

“Kalau saya mencoba merekonsiliasikan pemikiran Natsir dan Soekarno adalah dua kutub yang bertolak belakang itu, maka yang mau saya katakan adalah kita harus bisa berpancasila sereligius mungkin dan beragama sepancasilais mungkin.
Artinya mengamalkan agama di negara yang berdasarkan Pancasila dan mengamalkan Pancasila di negara yang penduduknya menjunjung tinggi ajaran agama,” kata Irman.

Jadi, lanjut Irman bukan mempersoalkan Pancasila sebagai dasar negara, atau memperjuangkan Islam sebagai dasar negara karena itu sudah final. Sebab Pancasila sudah mewakili nilai-nilai luhur dari semua agama di negeri ini bahkan mewakili jatidiri bangsa Indonesia.

“Tugas kita adalah melakukan introspeksi, sudah sampai sejauh mana kita mengamalkan lima sila itu di dalam realitas kehidupan kita sebagai bangsa, kemudian melakukan koreksi dengan menggunakan ajaran agama dan falsafah Pancasila sebagai pedoman,” pungkasnya. (mbang)


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pelatihan Muballigh-Muballighah dan HariMU: Meningkatkan Kompetensi Bangun Sinergi Hadapi Tantangan dan Globalisasi

Buya ZAS (1) : MASA KECIL DI KAMPUNG GALAPUNG

Shofwan Karim Obituari Buya Mirdas (4) Keluarga Quran dan Ulama